
Penulis: Yulweri Vovi Safitria
Freelance Writer
Linimasanews.id—Selain penjajah dan pengkhianat, entah sebutan apa lagi yang patut disematkan kepada Israel laknatullah alaihi. Ironisnya, meski pengkhianatan dan penjajahan yang dilakukan Zionis terhadap Gaza tampak nyata, tetapi sebagian umat Islam masih saja beramah-tamah. Bahkan, ingin membuka hubungan diplomasi dengan mereka, sebagaimana yang disampaikan Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Dalam konferensi pers bersama Presiden Perancis Emmanuel Macron, Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Prabowo menyampaikan bahwa diplomasi tersebut bersyarat, yakni Israel harus mengakui kemerdekaan Palestina (tempo.co.id, 28-5-2025).
Alih-alih menerima diplomasi bersyarat yang dilontarkan Prabowo Subianto, Zionis justru memperluas wilayah jajahannya. Apa yang disampaikan pemimpin negeri ini seolah dianggap angin lalu oleh Zionis Yahudi.
Mirisnya lagi, di tengah tekanan agar memberikan kemerdekaan kepada Palestina, aksi brutal dilakukan militer Israel terhadap Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, Gaza Utara, Palestina. Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri DPR Junico Siahaan pun angkat suara.
Nico menyerukan kepada Kemenlu dan lembaga-lembaga intelijen terkait untuk segera mengaktifkan jalur diplomasi khusus serta melakukan koordinasi dengan organisasi kemanusiaan internasional. Bersama OKI, pemerintah pun diminta mengambil tindakan tegas dan tekanan nyata terhadap Israel melalui sanksi militer dan ekonomi (detiknews, 10-6-2025).
Diplomasi Bukan Solusi
Meskipun berbagai kecaman dilayangkan, Zionis tetap dengan misi besarnya untuk menguasai Palestina. Bagi Yahudi, kecaman demi kecaman ibarat pepatah “anjing menyalak takkan menggigit”. Mereka yakin bahwa orang-orang yang mengkritik dan mengecam, tidak akan mampu berbuat apa-apa. Terlebih lagi, umat Islam sudah terpecah belah dalam sekat nasionalisme.
Sebaliknya, Zionis makin besar kepala karena didukung oleh banyak negara, terutama negara adidaya. Begitupun beberapa negara di Timur Tengah, tidak menunjukkan keberpihakan yang nyata terhadap Palestina, kecuali kecaman yang pada akhirnya hilang di tengah jeritan anak-anak Gaza. Oleh karenanya, mengajak Zionis yang notabene adalah penjajah untuk duduk bersama, apalagi membicarakan kemerdekaan Palestina adalah sesuatu yang sia-sia.
Tidak sepatutnya pula seorang muslim bermanis muka kepada mereka yang telah membunuh saudara seakidah, berbuat kerusakan, menjajah, dan melakukan aksi brutal terhadap jutaan manusia, termasuk bayi yang tidak berdosa. Hal ini sama saja dengan mengkhianati amanat UU yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Politik Dua Kaki
Pemerintah memang mengecam tindakan brutal Zionis, tetapi di sisi lain ingin membuka hubungan diplomatik. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah dalam sistem politik demokrasi kapitalisme.
Dalam sistem ini, keuntungan adalah hal yang utama. Oleh karenanya, tidak heran jika masyarakat berasumsi bahwa kecaman tersebut seolah gimmick untuk menutupi persekongkolan yang dilakukan di belakang rakyat. Seolah tidak ingin kehilangan peluang dan kesempatan, berbagai upaya pun dilakukan agar terlihat menyuarakan keadilan dan kebersamaan, sekalipun harus bersandiwara untuk menutupi fakta yang ada.
Sebagian orang, bahkan pejabat seolah ‘cari aman’ agar tidak kehilangan cuan. Sementara mereka paham bahwa apa yang dilakukan Zionis adalah menjajah tanah Palestina. Genosida itu nyata, hanya saja mata para pemegang tampuk kekuasaan seolah buta melihat fakta yang terpampang di depan mata.
Kondisi ini seolah menegaskan bahwa negeri-negeri muslim tidak memiliki kemampuan untuk mandiri, apalagi membebaskan Palestina dari jajahan Yahudi, padahal kaum muslim memiliki segalanya. Apabila segala kemampuan itu dikerahkan, maka membebaskan tanah Palestina adalah hal yang mudah.
Tidak Realistis
Sejatinya, diplomasi bersyarat yang diajukan bukanlah solusi untuk menyelesaikan konflik di Gaza. Begitu pula dengan solusi dua negara yang sering kali diwacanakan negara-negara di dunia.
Tanah Palestina adalah milik kaum muslim, sedangkan Yahudi merupakan pendatang yang menduduki tanah tersebut dan menguasai kiblat pertama umat Islam. Bagaimana mungkin menyerahkan tanah yang didapatkan dengan tetesan darah para syuhada kepada penjajah? Apalagi hidup berdampingan dengan mereka.
Justru seharusnya, seluruh negeri kaum muslim bersatu untuk mengusir para penjajah yang sudah merampok dan menguasai Palestina. Tidak ada kompromi dengan para penjajah, yang ada adalah perang hingga kemenangan ada di genggaman.
Oleh karena itu, solusi di atas hanyalah sebatas wacana di panggung diplomasi dan pidato kenegaraan, tetapi tidak akan pernah terealisasi. Solusi tersebut sebatas khayalan dan tidak punya landasan.
Sang Pembebas
Melihat kondisi Gaza dan kaum mulim di belahan bumi lainnya yang tertekan akibat kesewenang-wenangan dan kezaliman, sudah cukup membuka mata umat Islam akan pentingnya persatuan dalam satu kepemimpinan. Ketika umat tidak bisa berharap kepada penguasa dalam sistem politik demokrasi kapitalisme, maka bersatu di bawah naungan sistem Islam adalah satu-satunya solusi.
Umat Islam butuh pelindung yang mampu membebaskan mereka dari kezaliman. Umat butuh pemimpin yang mampu menyatukan, pemimpin yang mampu mengembalikan marwah umat Islam. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.” (HR Muslim).
Keberhasilan negara dalam melindungi rakyatnya tercatat dalam sejarah emas kegemilangan Islam. Kewibawaan negara ini masih terdengar hingga kini. Selama 2/3 abad, Islam menjadi negara adidaya. Fakta itulah yang ditakuti musuh-musuh Islam sehingga beragam upaya mereka lakukan untuk menghalangi bangkitnya Islam.
Oleh karena itu, harapan kemenangan bagi Gaza ada pada khalifah, yaitu pemimpin yang menerapkan hukum-hukum Islam. Khalifah akan mengerahkan pasukan dan menyerukan jihad guna memerangi siapa saja yang menindas rakyatnya. Hal ini mudah karena penerapan hukum Islam dilakukan oleh negara yang mengikuti manhaj kenabian, yakni Daulah Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Wallahu a’lam.