
Oleh: Siti Zulaikha, S.Pd. (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)
Linimasanews.id—Isu penambangan dan hilirisasi nikel di Raja Ampat, Papua menjadi sorotan publik, terutama setelah sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asal Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutannya. Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat (Tempo.co, 6/6/2025).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia lalu menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Hal ini dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dampak pertambangan terhadap kawasan wisata di Raja Ampat (esdm.go.id, 5/6/2025).
Hilirisasi nikel di Raja Ampat memang patut mendapat atensi publik. Pasalnya, penambangan nikel di wilayah itu menjadi ancaman bagi keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekosistem setempat.
Kapitalis Penyebab Terjadinya Tambang Nikel di Raja Ampat
Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, mengatakan bahwa penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat terutama di Raja Ampat.
Padahal, Kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75 persen untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan-ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska. Beberapa jenis ikan yang ada di Raja Ampat salah satunya adalah pari manta (Mobula birostris).
Tidak hanya mengancam biota laut, tetapi juga satwa khas Papua yang hidup di kawasan tersebut. Salah satunya, cenderawasih botak (Cicinnurus respublica) atau Wilson’s bird-of-paradise, yang merupakan spesies endemik dan hanya ditemukan di wilayah Raja Ampat.
Greenpeace mencatat, lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami di ketiga pulau di sana telah dibabat untuk aktivitas pertambangan. Selain kerusakan daratan, Kiki juga mengungkapkan kekhawatiran atas kerusakan terumbu karang akibat lalu lalangnya kapal tongkang pengangkut nikel yang melintasi wilayah perairan Raja Ampat (Tempo.co, 6/6/2025).
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil tersebut dilarang. Namun, semua undang-undang itu tidak berarti bagi para kapitalis (pengusaha tambang). Sebab, undang-undang tersebut dibuat oleh negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme.
Ekonomi kapitalisme menganut kebebasan kepemilikan. Sehingga, siapa pun yang memiliki modal bisa menguasai apa pun untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun itu harus mengorbankan alam. Karenanya, pelestarian lingkungan hanya menjadi omong kosong jika sebuah negara masih menerapkan ekonomi kapitalisme.
Upaya pelestarian alam membutuhkan kepemimpinan yang berfungsi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Kepemimpinan yang seperti ini akan menjaga kelestarian alam seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah al-A’raf Ayat 56. Kepemimpinan raa’in dan junnah hanya akan terwujud di dalam sistem Islam, yakni khilafah.
Islam Solusi Raja Ampat
Berbicara mengenai masalah yang terjadi di Raja Ampat, syariah telah memberikan batasan yang jelas agar kekayaan alam beserta biodiversitas di daerah itu tetap terjaga kelestariannya.
Secara alamiah, ekosistem hutan memiliki fungsi hidrologis, produsen oksigen, agregator tanah, dan pencegah erosi. Sementara ekosistem laut, secara alamiah memiliki fungsi sebagai habitat bagi jutaan spesies laut, pengatur iklim global, sumber makanan bagi manusia, dan berperan dalam siklus hidrologi. Agar fungsi ekosistem tersebut tidak hilang, tentu harus ada mekanisme konservasi alam, baik untuk ekosistem hutan ataupun laut.
Konsep konservasi dalam Islam dikenal praktek hima (proteksi). Hima dilakukan pada harta milik umum yang diproteksi oleh negara. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Sha’bi bi Jutsamah, Rasulullah berkata: “Tidak ada hima (proteksi) kecuali (hal itu) merupakan hal Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari)
Makna hadis tersebut adalah tidak ada hak penguasaan (hima) ,kecuali oleh negara Khilafah. Allah dan Rasul-Nya telah mengatur hima tanah milik umum untuk keperluan jihad, orang-orang fakir, orang-orang miskin, serta untuk kemaslahatan kaum muslim secara keseluruhan.
Secara af’al (perbuatan) Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai Kepala Negara Islam di Madinah, pernah melakukan hima dan para khalifah setelah Beliau juga mempraktikkan hal yang sama. Yakni, menetapkan sebagian harta yang termasuk milik umum dengan cara tertentu sebagai kawasan khusus.
Rasulullah memproteksi wilayah tertentu di daerah sekitar Madinah. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah memproteksi daerah Naqi’ (suatu tempat berair yang terletak 20 farsakh dari Kota Madinah) untuk unta-unta kaum muslimin.
Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu juga pernah memproteksi padang rumput untuk menggembalakan unta-untah zakat. Beliau mempekerjakan maula beliau, Abu Salamah, untuk mengurus padang rumput tersebut.
Khalifah Umar bin Al Khattab Radhiyallahu ‘anhu juga pernah memproteksi padang rumput pada bagian yang tinggi dan mempekerjakan Hunaiy untuk menjaga dan mengatur tempat tersebut.
Jika ada khilafah, maka khalifah akan menjaga kelestarian lingkungan di Raja Ampat. Bahkan bisa jadi ditetapkan sebagai hima demi menjaga keseimbangan ekosistem di sana. Khilafah tidak akan membiarkan para kapital mencaplok wilayah tersebut untuk dieksploitasi. Sebab sumber daya alam adalah milik umat, haram dikuasai oleh perusahaan swasta.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Kaum muslim berseikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Alhasil, menjaga kelestarian alam, menetapkan suatu wilayah untuk hima, tidak memberi izin swasta mengelola tambang, semua itu merupakan bagian syariat Islam yang hanya bisa dilakukan oleh negara. Oleh karena itu, sejatinya umat Islam membutuhkan institusi negara (khilafah) agar semua syariat bisa diterapkan secara kafah.