
Editorial—Rentetan berita tentang kekerasan terhadap anak, khususnya yang dilakukan oleh orang tua atau keluarga terdekat, semakin menyesakkan hati. Seolah setiap pekan kita dicekoki fakta baru yang menggambarkan betapa rusaknya tatanan keluarga di tengah masyarakat. Anak disiksa, ditelantarkan, bahkan dibunuh oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung terdekatnya. Di Riau, seorang bayi tewas karena disiksa oleh pasangan suami istri yang merupakan teman orang tuanya. Di Jakarta Selatan, anak kecil ditelantarkan di pasar tanpa belas kasihan. Deretan kasus ini bukan sekadar potret kriminalitas, melainkan indikator dari krisis sistemik yang jauh lebih dalam.
Pertanyaannya, mengapa kekerasan dalam keluarga yang seharusnya menjadi ruang perlindungan dan kasih sayang justru terjadi semakin masif dan brutal?
Jawabannya terletak pada kerusakan fondasi sosial akibat dominasi sistem sekularisme dan kapitalisme yang telah membentuk pola pikir masyarakat selama puluhan tahun. Dalam sistem sekuler, agama dipisahkan dari kehidupan, termasuk dalam hal keluarga. Keluarga hanya dianggap sebagai institusi sosial yang fungsional, tanpa visi spiritual atau nilai moral yang kokoh. Peran ayah, ibu, dan anak tereduksi menjadi sekadar pemenuhan kebutuhan fisik, bukan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah atau amanah yang dipertanggungjawabkan di akhirat.
Dalam kerangka kapitalisme, keluarga bahkan dijadikan pasar. Ibu-ibu dipaksa bekerja karena beban ekonomi, ayah dituntut bekerja tanpa batas waktu, dan anak-anak tumbuh dalam pengasuhan televisi, gawai, serta lingkungan sosial yang kering dari nilai. Ketika kebutuhan ekonomi tidak terpenuhi, stres, frustrasi, dan konflik mudah meledak di dalam rumah. Rumah bukan lagi tempat pulang, melainkan tempat pelarian dari tekanan hidup dan sayangnya, anak-anak sering menjadi pelampiasan.
Kapitalisme juga menciptakan gaya hidup individualistik. Nilai tolong-menolong, kepedulian antar tetangga, dan tanggung jawab sosial melemah. Ketika satu rumah berisi jeritan anak-anak, tetangga tutup telinga. Ketika seorang ibu kehilangan arah dalam mendidik, tidak ada sistem sosial yang menuntunnya kembali. Negara pun hanya hadir ketika kasus telah viral atau menyentuh media, bukan saat pencegahan dibutuhkan.
Tak bisa dipungkiri bahwa di Indonesia sudah ada berbagai regulasi: Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual, hingga program pembangunan keluarga. Namun semua itu hanya menyentuh permukaan. UU tersebut dibentuk dalam kerangka sekuler yang tidak menyentuh akar masalah: hilangnya peran agama dalam keluarga, rusaknya orientasi hidup, dan lemahnya pembinaan moral masyarakat secara menyeluruh.
Islam hadir bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi sebagai sistem hidup yang menyeluruh termasuk dalam membina keluarga. Dalam Islam, keluarga bukan sekadar unit sosial, melainkan institusi pendidikan pertama dan utama bagi manusia. Orang tua memiliki peran sebagai murabbi (pendidik), bukan sekadar penyedia materi. Hubungan antara suami dan istri diatur dalam akhlak dan tanggung jawab yang terikat syariat, bukan sekadar kesepakatan personal.
Negara dalam Islam memiliki kewajiban memastikan keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Bukan hanya dengan menindak pelaku kekerasan, tetapi lebih penting lagi, dengan menciptakan sistem kehidupan yang mencegah terjadinya kekerasan itu sendiri. Islam menjadikan keimanan sebagai fondasi kehidupan rumah tangga. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok keluarga, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan, agar tekanan ekonomi tidak menjadi alasan untuk berlaku kasar terhadap anak.
Sistem Islam juga memerintahkan negara untuk mengedukasi masyarakat secara terstruktur dan berkelanjutan. Melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, generasi dididik sejak dini untuk memahami tanggung jawabnya kelak sebagai orang tua. Media massa dikontrol agar hanya menyiarkan konten yang mendidik dan membangun akhlak. Lingkungan masyarakat dibentuk sebagai kontrol sosial yang hidup, bukan sekadar penonton kekerasan.
Dalam sistem Khilafah, fungsi edukasi dan perlindungan keluarga diintegrasikan dalam seluruh lini pemerintahan. Kementerian pendidikan akan membina calon orang tua, kementerian penerangan akan mengawasi konten publik, dan badan sosial negara akan memfasilitasi pembinaan keluarga. Hukuman bagi pelaku kekerasan pun tidak berhenti pada efek jera, tetapi bertujuan menegakkan keadilan dan menjaga marwah keluarga.
Anak-anak dalam sistem Islam hidup dalam suasana yang aman, spiritual, dan sosial yang sehat. Mereka dididik dengan cinta, dibesarkan dengan tanggung jawab, dan dilindungi oleh sistem yang tidak mentoleransi kekerasan sedikit pun. Rumah menjadi surga kecil yang menenangkan, bukan medan perang.
Karena itu, solusi terhadap kekerasan anak bukan hanya pada hukum dan kampanye, tetapi pada perubahan total sistem kehidupan. Selama sekularisme dan kapitalisme menjadi dasar kehidupan masyarakat, selama itu pula kekerasan akan terus bermunculan dalam bentuk yang makin mengerikan. Islam telah membuktikan selama ratusan tahun bahwa ia mampu membentuk keluarga kuat, masyarakat peduli, dan negara yang bertanggung jawab.
Kini saatnya umat kembali memperjuangkan tegaknya sistem Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah. Demi generasi masa depan yang tidak hanya hidup aman, tapi juga tumbuh dalam cahaya iman dan kasih sayang yang sejati. [OHF]