
Oleh. Rini Sulistiawati (Pemerhati Generasi Masa Depan Islam)
Linimasanews.id—Lonjakan harga beras yang terus terjadi di tengah klaim stok yang melimpah telah menimbulkan pertanyaan besar di benak masyarakat, terutama di kalangan keluarga miskin. Dalam laporan disebutkan bahwa lebih dari 130 kabupaten dan kota mengalami kenaikan harga beras secara serentak pada pekan kedua Juni (Bisnis.com, 16-6-2025).
Kondisi ini sangat kontras dengan pernyataan bahwa cadangan beras nasional dalam keadaan cukup. Seorang Guru Besar Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa fenomena ini tidak selaras dengan logika ekonomi, stok berlimpah seharusnya membuat harga turun, bukan sebaliknya (BeritaSatu, 18-6-2025).
Ketidaksesuaian antara kebijakan dan kenyataan ini membuat rakyat kecil makin terjepit, sementara kebutuhan pangan pokok tak bisa ditunda. Harga eceran beras di banyak tempat telah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada pedagang dan pasar, tetapi menghantam langsung isi piring rakyat miskin. Ibu-ibu terpaksa mengurangi jatah makan keluarga, memasak seadanya, atau bahkan hanya menyajikan nasi dengan garam. Sementara anak-anak mulai kehilangan berat badan, semangat, dan ketahanan tubuh. Krisis ini tidak lagi bisa dianggap ringan. Ini adalah ancaman nyata terhadap kesehatan generasi penerus bangsa.
Masalah tidak berhenti pada harga yang tinggi. Bisnis.com (17-6-2025) mengungkap bahwa kebijakan penyerapan gabah oleh Bulog dalam jumlah besar justru menimbulkan tumpukan stok di gudang. Hal ini menyebabkan distribusi ke pasar menjadi tersendat. Pasokan yang tidak lancar mempersempit ruang gerak pasar, menyebabkan harga terus melambung. Padahal, menurut logika ekonomi yang sederhana, ketika stok melimpah, harga seharusnya turun. Namun kenyataannya justru terbalik: beras menumpuk, tetapi rakyat tak mampu membelinya.
Inilah ciri pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme. Tidak pro-rakyat, melainkan tunduk pada mekanisme pasar dan kepentingan elite. Dalam sistem ini, pangan bukan dipandang sebagai hak dasar rakyat yang wajib dijamin negara, melainkan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan.
Dalam sistem kapitalis, negara hanya berperan sebagai regulator pasar, bukan sebagai pelindung atau penjamin distribusi yang adil dan merata. Akibatnya, ketika terjadi fluktuasi harga, rakyat miskin menjadi korban utama. Dalam sistem kapitalisme, bahkan semangkuk nasi untuk anak-anak pun harus tunduk pada logika untung-rugi.
Melihat situasi yang terus memburuk, bukan tidak mungkin para ibu akan turun ke jalan. Bukan untuk membuat kekacauan, tapi membawa papan-papan sederhana yang ditulis dengan tangan gemetar: “Turunkan harga beras!”, “Anak kami kelaparan!”, “Kami tak butuh janji!”, “Kami butuh harga beras yang manusiawi!”. Suara-suara semacam ini terlalu sering diabaikan, dianggap angin lalu. Air mata anak-anak di dapur-dapur sempit tak pernah sampai ke meja-meja rapat ber-AC. Padahal, ini bukan soal suksesi politik, bukan soal musim kampanye. Ini soal perut yang kosong dan masa depan yang terancam.
Maka dari itu, solusi dari krisis ini tidak cukup dengan tambal sulam regulasi atau subsidi sesaat. Solusi hakiki hanya bisa diwujudkan oleh sistem yang menjadikan syariat Islam sebagai poros kehidupan.
Dalam sistem Islam (Khilafah Islamiyah), negara memiliki kewajiban mutlak untuk menjamin kebutuhan pokok setiap warga, termasuk pangan. Produksi, distribusi, dan cadangan pangan dikelola langsung oleh negara sebagai amanah, bukan sebagai komoditas pasar.
Negara (khilafah) akan memberi subsidi langsung kepada petani, baik berupa bibit, pupuk, maupun sarana produksi pertanian (saprotan) tanpa syarat dan tanpa pamrih. Penimbunan akan dilarang keras, dan distribusi akan diawasi ketat agar merata dan adil. Harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang alami, tanpa intervensi sepihak karena syariat melarang pemaksaan harga.
Dengan sistem ini, kestabilan harga bukan sekadar harapan, tetapi kenyataan. Rakyat kecil, termasuk ibu-ibu yang hari ini berjuang menanak nasi dengan air mata, akan mendapatkan keadilan yang nyata. Inilah sistem Islam, sebuah sistem yang tidak membiarkan rakyat kelaparan sementara gudang penuh. Sistem Islam menjamin pangan sebagai hak, bukan barang dagangan. Inilah solusi sejati. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkannya.