
Oleh: Sintia Wulandari
Linimasanews id—Kata pajak sudah tidak asing lagi bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia. Bagaimana tidak, pajak merupakan salah satu kewajiban rakyat kepada pemerintah yang harus dipenuhi. Di setiap lini kehidupan, pajak terus menghantui dan membebani rakyat. Mirisnya, di tengah kesusahan rakyat, pemerintah justru dengan ringan tangan memberikan kemudahan-kemudahan kepada para pengusaha.
Dalam negara yang menganut sistem kapitalisme, pajak merupakan instrumen penting bagi pemasukan negara. Dalam sistem ini, pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis. Sebab, dapat menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan dari pajak. Maka dari itu, sudah menjadi hal yang wajar jika berbagai sektor barang dan jasa semua dikenai beban pajak.
Pada Maret 2024 penerimaan pajak anjlok. Dikutip dari cnbcindonesia.com (26/04/2024), sejumlah setoran pajak beberapa sektor industri turun drastis, seperti industri manufaktur hingga industri pertambangan. Total penerimaan pajak hingga Maret 2024 atau selama kuartal I-2024 hanya sebesar Rp393,9 triliun. Realisasi turun 8,8% dari penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu sebesar Rp431,9 triliun. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, turunnya setoran pajak pada beberapa industri menggambarkan kondisi perekonomian domestik mengalami tekanan ekonomi global.
Fakta menunjukkan bahwa kebijakan pajak ini justru menyulitkan dan menyengsarakan masyarakat. Akan tetapi, masyarakat hari ini masih saja dibodohi berbagai slogan, seperti “warga negara yang baik adalah yang taat pajak”. Ungkapan agar rakyat terus membayar pajak.
Ironisnya, di saat pajak terus digaungkan bagi rakyat kecil, di saat yang sama negara mengeluarkan berbagai kebijakan yang membantu rakyat “pengusaha”. Seperti, fasilitas yang didapatkan oleh para penanam modal di IKN (Ibu Kota Nusantara).
Negara juga dengan leluasa mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan negara, sebagaimana Kementrian Keuangan (Kemenkeu) yang menerbitkan aturan terkait pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Aturan tersebut diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 28/2024, yang menyebutkan salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan adalah pajak penghasilan (PPh).
Terdapat 9 insentif PPh yang ditawarkan pemerintah untuk investor atau pelaku usaha yang menanamkan modalnya untuk mendirikan usaha di IKN. Di antaranya: 1. Insentif Tax Holiday penanaman modal, 2. Fasilitas PPh di Financial Center IKN, 3. Pengurangan PPh badan atas pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional, 4. Superdeducation vokasi, 5. Superdeducation research and development, 6. Superdeducation sumbangan fasilitas umum/sosisal di IKN, 7. PPh pasal 21 final ditanggung pemerintah, 8. PPh Final 0% untuk UMKM, 9. Pengurangan PPh ha atas tanah/bangunan (nasional.kontan.co.id, 19/05/2024).
Demikianlah pajak yang diatur oleh sistem ekonomi kapitalisme. Pajak digunakan untuk memalak rakyat sipil dan membuat ekonomi negara makin lemah karena tidak memiliki sumber pendapatan negara yang kokoh. Hal ini sangat berbeda jauh dengan tata kelola pemasukan negara yang diatur oleh sistem Islam.
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nidzamul Iqtisadiy menjelaskan tentang sistem keuangan negara Islam berbabis Baitul Maal. Pada Baitul Maal terdapat tiga pemasukan. Pertama, pos kepemilikan negara yang bersumber dari harta fai’ dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khunus, kharaj, status tanah dan jizyah. Jenis harta ini menjadi salah satu pemasukan tetap negara. Adapun pemasukan tidak tetap negara berupa dharibah (pajak).
Kedua, pos kepemilikan umum bersumber dari harta pengelolan SDA, seperti gas, minyak, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan dan lainnya yang diproteksikan untuk kebutuhan khusus. Harta umum dibuatkan tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
Ketiga, pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin, seperti zakat uang, emas, perdagangan, pertanian dan buah-buahan, zakat hewan ternak (kambing, unta, sapi an sejenisnya). Di samping itu, pos ini juga menerima harta sedekah, infaq, wakaf dari kaum muslimin. Pos zakat juga ada tempat khusus dan terpisah dari harta lainya.
Dari berbagai pos inilah negara menjadi kaya raya dan mampu untuk membiayai rakyat dan negara. Adapun pajak (dharibah) dikategorikan sebagai pemasukan tidak tetap negara, pasalnya pemasukan pajak dalam Islam hanya akan dipungut dalam kondisi temporer, yakni ketika khas Baitul Maal menipis atau kosong, sementara harus membiayai kebutuhan yang bersifat genting dan jika tidak segera dipenuhi akan menimbulkan dharar (bahaya), seperti pembiayaan jihad, bencana alam, kebutuhan infrastruktur daerah pelosok. Dharibah hanya akan dipungut kepada kaum muslimin, sementara warga kafir dzimmi tidak dipungut.
Dalam kitab Al-Anwal fi Daulati al-Khilafah halaman 129, Syaikh Abdul Qadim Zallum menyampaikan bahwa dharibah dikategorikan sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi tidak ada harta di Baitul Maal kaum muslim untuk membiayainya.
Sekalipun dharibah hanya dibebankan kepada kaum muslimin, namun tidak semua kaum muslimin membayarnya. Dharibah hanya akan diambil dari yang memiliki kelebihan harta saja, setelah kebutuhan setelah mereka dan keluarga mereka terpenuhi. Maka dari itu, kedudukan dharibah (pajak) dalam sistem ekonomi Islam jelas. Tentunya ini sangat jauh berbeda dengan pajak yang berada dalam sistem ekonomi kapitalisme.
Namun, konsep Baitul Maal dalam ekonomi Islam hanya akan terwujud dan memberikan keberkahan bagi keuangan negara jika negera menjalankan seluruh aturan Islam secara kafah. Negara ini disebut sebagai Daulah Khilafah.