
Oleh: Elvana Oktavia, S.Pd.
Linimasanews.id—Tahun Baru Islam dimulai dengan bulan Muharram. Peristiwa hijrahnya Rasulullah Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah menjadi titik awal penanggalan kalender Hijriyah.
Hijrah Rasulullah saw. bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan merupakan langkah strategis untuk meninggalkan sistem jahiliyah yang sarat dengan kekufuran dan penindasan, menuju terbentuknya tatanan masyarakat berpredikat umat terbaik.
Di Madinah, Rasulullah saw membangun sebuah masyarakat yang adil, inklusif, dan berperadaban tinggi menjadi negara Islam yang pertama. Tegaknya Islam di Madinah tidak hanya membawa kebaikan bagi kaum Muslimin, tetapi juga menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, peristiwa hijrah ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi umat Islam.
Derita Kelam di Tengah Muharram
Umat Islam umumnya menyambut bulan Muharam dengan suka cita, namun tidak demikian bagi umat Islam di Palestina. Mereka masih terjebak dalam situasi mengenaskan akibat genosida yang telah berlangsung lebih dari 20 bulan, dengan kondisi yang makin parah di Gaza, Tepi Barat, Al-Quds, dan wilayah lainnya. Banyak penduduk yang menjadi korban penahanan, penghancuran rumah, penindasan, dan pembunuhan. Gaza sangat membutuhkan bantuan makanan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya.
Dalam satu hari, kekerasan di Gaza menyebabkan 150 warga tewas dan 600 lainnya terluka. Meskipun angka korban tidak mencapai titik tertinggi sejak genosida di Gaza dimulai lebih dari 600 hari lalu, situasi kini makin buruk karena minimnya liputan media akibat perhatian global yang beralih ke konflik Israel-Iran, sehingga Israel makin leluasa melakukan serangan terhadap warga sipil di Gaza (merdeka.com, 24/6/2025). Kementerian Kesehatan Palestina menyebut, sejak Oktober 2023 agresi zionis Israel telah menyebabkan setidaknya 56.077 korban jiwa dan setidaknya 131.848 luka-luka (kompas.tv, 24/6/2025).
Upaya Mengatasi Akar Masalah
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi penderitaan rakyat Palestina, mulai dari pengiriman bantuan pangan dan medis, penggalangan donasi, hingga aksi boikot terhadap produk-produk Israel maupun pihak yang mendukungnya. Dukungan untuk Palestina sebagian besar datang dari warga sipil biasa yang tidak memiliki kekuatan politik signifikan. Ini menunjukkan bahwa pembelaan lebih banyak digerakkan oleh kesadaran dan solidaritas level masyarakat. Langkah-langkah tersebut belum cukup. Dominasi militer Israel dan para sekutunya menuntut adanya perlawanan seimbang, dengan kekuatan bersenjata.
Namun, hingga kini tidak ada satu pun pemimpin negara-negara Muslim yang berani tegas mengambil sikap untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina dengan kekuatan bersenjata. Meskipun dunia menyaksikan langsung kebrutalan Zionis, pihak Barat, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan para pemimpin Muslim seolah menutup mata. Penguasa Muslim tampak tak berdaya dan tidak menunjukkan tindakan nyata. Padahal, jumlah penduduk Zionis yang hanya sekitar 9,4 juta orang, sangat kecil dibandingkan dengan populasi umat Islam yang mencapai 2,02 miliar jiwa.
Karenanya, kaum muslim harus menyeru kepada para penguasanya untuk menggerakkan pasukannya berjihad melawan Zionis. Pelaksanaan jihad ini menghadapi hambatan besar karena negara-negara Muslim masih terkotak oleh batas-batas nasional semu dan diperkuat oleh semangat nasionalisme. Masing-masing negara terikat pada prinsip politik luar negerinya yang merupakan strategi Barat untuk melemahkan persatuan umat Islam. Akibatnya, tak satu pun pemimpin negara Arab atau negara Muslim lain yang merespons seruan jihad. Ketiadaan pemimpin tunggal dalam tubuh umat Islam menjadikan seruan jihad berlalu tanpa tindakan nyata.
Palestina Butuh Junnah
Oleh karena itu, kaum muslim memerlukan kepemimpinan yang tegas, pemimpin yang memahami mana kawan dan lawan dan mengutamakan keselamatan kaum muslim daripada sekadar kerja sama bilateral.
Kehadiran tentara Muslim hanya akan terwujud ketika umat memiliki khalifah sebagai pemersatu umat Islam yang berperan sebagai junnah (pelindung). Dalam perannya sebagai junnah, Khilafah (negara Islam) akan mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan dan pembebasan bagi Muslim yang terjajah dan tertindas. Selain itu, Khilafah hanya bekerja dan melayani kepentingan Islam dan umatnya, bukan bekerja dan melayani kepentingan negara-negara kafir penjajah.
Terbukti setelah Hijrah, ketertindasan dan kemalangan umat Islam berakhir. Nabi saw. melindungi Islam dan umat dar gangguan. Beliau memerangi dan mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ yang melecehkan kehormatan seorang wanita dan menghabisi nyawa seorang pedagang muslim.
Di masa kekhilafahan sepeninggal Rasulullah, Palestina dua kali diperjuangkan oleh kaum muslim. Pertama oleh Khalifah Umar bin Khaththab. Kedua oleh Shalahuddin al-Ayubi. Dengan penaklukan itu, Palestina berstatus sebagai tanah kharajiyah yang menandakan bahwa tanah tersebut selamanya berada di bawah kepemilikan kaum muslim. Atas dasar itu pula Khalifah Abdul Hamid II juga mati-matian mempertahankan Palestina dengan menolak berbagai tawaran dari tokoh Zionis, termasuk Theodor Herzl, yang ingin mendapatkan sebagian wilayah Palestina untuk bangsa Yahudi.
Tanggung jawab membebaskan Palestina adalah amanah besar yang harus diemban umat Muslim. Melupakan Palestina berarti mengabaikan tanggung jawab yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt.
Khatimah
Di momen Tahun Baru Hijriah ini, umat Islam diingatkan untuk meningkatkan semangat dalam memperjuangkan kebebasan Palestina dan mendukung gerakan yang konsisten dalam memperjuangkan kepemimpinan politik Islam. Sebab, kepemimpinan Islam menjadi kunci penting dalam menyatukan umat dan memperjuangkan tegaknya sistem Islam. Bergabung dan mendukung gerakan ini adalah langkah penting dalam menegakkan keadilan dan membela hak-hak kaum muslim di Palestina dan seluruh dunia.