
Oleh: Syahroma Eka Suryani, S.Pd.
Linimasanews.id—Di ruang kelas, di balik senyum yang tulus, mereka memikul berat tugas yang menumpuk, waktu terkuras demi mengukir masa depan bangsa dengan tinta sabarnya yang tanpa batas. Namun sayang, seringkali diganjar dengan upah yang tak setimpal dan nyaris tak sebanding dengan pengorbanannya. Sungguh “tanpa tanda jasa” tampaknya memang telah lekat pada diri guru sejak dahulu hingga kini.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2024, rata-rata gaji guru ASN golongan III baru berkisar Rp 4 juta-Rp7 juta per bulan, sementara guru honorer jauh di bawah UMR daerah. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara beban kerja dan penghargaan terhadap profesi guru. Bahkan menurut laporan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2025 yang rilis per 5 Mei 2025, sektor pendidikan termasuk dalam lima bidang usaha dengan gaji terendah di Indonesia dengan Rp 2,79 juta per bulan (detik.com, 11/5/2025).
Terbaru, kabar mengejutkan datang dari dunia pendidikan Provinsi Banten. Alokasi anggaran tunjangan tugas tambahan (TUTA) bagi para guru di Banten ternyata tidak dimasukkan dalam APBD murni 2025. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Arsip Daerah (BPKAD) Provinsi Banten, Rina Dewiyanti membenarkan bahwa tunjangan tugas tambahan guru tidak dianggarkan dalam APBD murni tahun ini. Rina menjelaskan bahwa keputusan tersebut berdasarkan dua regulasi pusat yang mengatur tentang tugas tambahan guru. Kedua regulasi tersebut menegaskan bahwa tugas tambahan yang dilakukan guru sejatinya merupakan bagian dari tugas pokok mereka. Oleh karena itu, tugas tambahan tersebut tidak layak mendapatkan honorarium atau tunjangan tambahan lagi karena dianggap sudah termassuk beban kerja guru (tangerangnews.co.id, 24/6/2025).
Ironis memang, mereka yang mendidik generasi namun justru harus berjibaku dalam ketidakpastian ekonomi. Gambaran seperti berita-berita di atas adalah potret getir nasib guru yang terperangkap dalam pusaran sistem kapitalisme saat ini. Kapitalisme menjadikan efisiensi dan keuntungan sebagai poros utama. Profesi guru acap kali dipandang bukan dari nilai pengabdiannya, tetapi malah dianggap membebani anggaran negara. Pendidikan diperlakukan layaknya komoditas, dan guru pun perlahan direduksi menjadi sekadar “tenaga kerja pendidikan” yang dievaluasi berdasarkan target administratif, bukan lagi kemanusiaan dan dedikasinya. Itulah wajah buram kapitalisme dalam dunia pendidikan, saat keberlangsungan hidup para pendidik justru tergadai lagi-lagi demi efisiensi anggaran.
Kesejahteraan guru merupakan salah satu indikator penting dalam keberhasilan sistem pendidikan, namun hingga kini masih menjadi persoalan yang belum tuntas bagi pemerintah daerah maupun pusat. Guru sebagai ujung tombak pendidikan seringkali tidak menjadi prioritas utama. Pemenuhan hak guru terutama pada penggajian yang layak tergantung dengan ketersediaan sumber dana negara. Padahal, investasi pada kesejahteraan guru bukan hanya tentang upah, melainkan tentang menciptakan ekosistem pendidikan yang bermartabat, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Hal ini tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Sudah seharusnya pemerintah menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Sebab, jika guru masih terus dalam bayang-bayang ketidakpastian ekonomi, maka berdampak pada kualitas generasi yang mereka didik.
Begitulah yang dirasakan ketika masih hidup dalam aturan yang dapat diubah sesuai kepentingan. Bukan kebijakan yang bersumber dari hukum yang konsisten seperti yang ditawarkan oleh aturan Islam. Negara ini perlu perubahan sistemis, perubahan menyeluruh yang mampu menuntaskan persoalan dari segala sisi kehihupan.
Islam Memuliakan Profesi Guru
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mampu memberikan kesejahteraan kepada guru. Sistem Islam memandang guru sebagai martabat yang sangat dihargai, dimuliakan, dan dihormati. Guru tidak hanya dihargai karena peran strategisnya dalam membina generasi dan memajukan peradaban bangsa, tetapi juga dijamin kesejahteraannya oleh negara.
Negara Islam mampu memberikan gaji yang tinggi kepada guru karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang luas dan stabil, serta mampu memilikinya dalam jumlah besar. Hal ini dikarenakan pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara bukan dikelola oleh perseorangan atau “orang besar” yang berkuasa. Dalam sistem Islam, sumber daya alam merupakan kepemilikan umum dan wajib dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Dengan sistem Islam, yang berlandaskan syariat, tampaknya kesejahteraah bukan lagi mimpi, melainkan niscaya sejahtera akan terjamin secara adil dan konsisten.