
Oleh: Melia Apriani, S.E.
(Aktivis Muslimah, DIY)
Linimasanews.id—Perundungan anak atau yang dikenal dengan sebutan bullying terus terjadi. Beritanya makin nyaring dengan tindakan yang bikin merinding. Seperti halnya Kasus perundungan terhadap siswa SMP oleh rekan-rekannya terjadi di Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani menyoroti kasus perundungan terhadap siswa di SMP, wilayah kabupaten Bandung. Ia meminta pelaku kasus perundungan menceburkan korban ke sumur ditindak secara administrasi dan hukum, karena menyangkut tindak pidana.
“Kerja sama dengan Kementerian PPPA, KPAI, dan aparat penegak hukum juga krusial. Untuk memastikan bahwa kasus kekerasan tidak hanya ditangani secara administratif, tetapi juga hukum,” kata legislator dari Fraksi PKB tersebut kepada wartawan, pada Jumat (27/6/2025).
Lalu ia menyatakan bahwa Komisi X DPR dan pemangku kebijakan terkait menaruh perhatian atas kasus perundungan yang masih jamak terjadi. Di mana korban yang merupakan siswa SMP diceburkan ke sumur oleh sejumlah orang, karena menolak meminum minuman alkohol (rri.co.id, 27/06/2025).
Video aksi perundungan itu sempat terekam video dan diungah ke media sosial hingga menjadi viral pada Kamis (8/6/2023). Fakta bertambahnya kasus perundungan setiap tahun makin menguatkan bahwa kasus ini adalah fenomena gunung es. Hal ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan serta gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi kepada pelaku, terutama anak-anak. Makin tampak dengan penggunaan tuak yang merupakan minuman haram dan adanya kekerasan oleh anak.
Berbagai kasus bullying di kalangan pelajar tidaklah muncul begitu saja. Ada faktor yang memengaruhinya, yakni kehidupan sekuler. Dalam sistem sekuler, kurikulum yang dibangun tidak menempatkan penanaman akidah Islam sebagai basis membentuk kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang miskin akidah, niradab, dan jauh dari aturan agama.
Jika bullying merupakan “dosa besar pendidikan,” maka sekularisme adalah biang keladi munculnya dosa besar tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh, tidak cukup dengan menyusun regulasi atau sanksi yang memberatkan, namun juga pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara.
Islam menjadikan perundungan sebagai perbuatan yang haram dilakukan, baik verbal apalagi fisik bahkan dengan menggunakan barang haram. Sementara itu, terkait penanganan jika terjadi bullying, negara menerapkan sanksi tegas yang mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Tidak ada perbedaan antara pelaku kekerasan antara remaja dan dewasa. Dalam Islam, tidak ada istilah anak di bawah umur. Ketika anak sudah balig, ia menjadi mukalaf dan sudah menanggung segala konsekuensi taklif hukum yang berlaku dalam syariat Islam.
Dalam sistem Islam, siapa pun yang sudah mukalaf, jika melanggar ketentuan syariat, ia harus menanggung sanksi yang diberikan. Namun, dalam kacamata sekularisme, anak yang sudah balig, jika masih di bawah usia 18 tahun, tetap diperlakukan layaknya “anak-anak.”
Paradigma semacam itu akhirnya membuat anak kurang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Kedewasaan dirinya tidak terbentuk karena selalu dianggap “anak-anak.” Coba bandingkan ketika Islam menjadi landasan dalam kurikulum pendidikan keluarga dan sekolah, mereka akan mendapat pemahaman mengenai fase usia balig terkait tanggung jawab, taklif hukum, serta konsekuensi segala perbuatannya.
Islam menjadikan balig sebagai titik awal pertanggungjawaban seorang manusia. Hadis Nabi ﷺ menunjukkan hal itu. Islam menjadikan sistem pendidikan yang berasas akidah Islam memberikan bekal untuk menyiapkan anak mukallaf pada saat baligh. Pendidikan ini menjadi tanggung jawab keluarga masyarakat dan negara sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyusun kurikulum pendidikan dalam semua level.
Pendidikan dalam keluarga pun negara memiliki kurikulumnya. Semua untuk mewujudkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Sistem informasi dan sistem sanksi menguatkan arah pendidikan yang dibuat oleh negara. Dengan demikian, akan lahir generasi yang berkepribadian Islam.
Oleh karenanya, bullying bisa dihentikan dan diakhiri hanya dengan mengubah paradigma pendidikan serta menerapkan sistem Islam secara kaffah. Ini karena Islam memiliki lapisan pelindung terhadap bullying, yakni, akidah, syariat, dan sistem sanksinya.