
Oleh: Alfisyah, S.Pd.
(Pegiat Literasi Islam Kota Medan)
Linimasanews.id—Apa kabar IKN? Sejak Agustus tahun lalu, IKN terabaikan. Malangnya, IKN sudah dihuni PSK yang sudah berpraktik dengan tenang. Laporan masyarakat, MUI setempat, dan media dua, hari ini berseliweran cukup meresahkan. PSK di IKN cukup memancing perhatian. Kawasan Ibu Kota Negara Nusantara atau IKN di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (Kaltim) telah ramai dengan aktivitas oleh pekerja seks komersial (PSK).
Meskipun kemudian Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) mengatakan prostitusi di lingkungan dan sekitar IKN sudah ditertibkan. Namun, kekhawatiran tetap menghantui seluruh negeri, terutama keluarga para ASN yang ditugaskan di sana. Juga kekhawatiran soal tercederainya moral masyarakat di IKN sebagai bagian dari kota yang sebelumnya aman dan damai. Konflik sosial dan penyakit masyarakat diprediksi akan menuai kekacauan di sana.
IKN kini benar-benar menjadi sorotan. Saat Satpol PP Kabupaten Penajam Paser Utara memantau praktik prostitusi online atau daring di sekitar wilayah IKN. Satpol PP menangkap basah puluhan PSK yang beroperasi sudah cukup lama. Penangkapan ini berdasarkan laporan yang disampaikan masyarakat dan pemerintah desa setempat (Antara, 25/5/2025).
Saat berita ini viral, hal ini memancing keterkejutan Menko Pemberdayaan Masyarakat (PM) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Mendengar laporan banyaknya PSK di kawasan IKN ini mendorongnya akan mengecek informasi tersebut. Namun cukupkah hanya sekadar terkejut dan melakukan penertiban saja? Tentu kita membutuhkan langkah kongkret yang lebih tegas dan solutif agar masalah ini segera diatasi.
Dampak Pembangunan Tak Terencana
Bagaikan buah simalakama, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) jika dihidupkan akan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Diperkirakan untuk perawatan membutuhkan sekitar Rp200-Rp 300 M. Ini menurut Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (DetikNews, 8/7/2025). Sementara hari ini, kita sedang melaksanakan efisiensi anggaran di seluruh lini.
Jika dibiarkan, proyek ini akan mangkrak. Bangunan di IKN akan menjadi gedung-gedung kosong berhantu. Inilah konsekuensi dari pembangunan yang terburu-buru dan tak terencana dengan baik. Hal ini tentu merugikan seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimanapun biaya membangunnya menghabiskan uang rakyat juga.
Konsep Islam tentang Ibukota Negara
Jika berkaca pada dunia Islam beberapa abad yang lalu hingga ke masa Rasulullah saw., kita akan menemukan konsep yang jelas tentang sebuah ibu kota. Sebuah pusat peradaban yang menjadi pusat peradaban negara besar dengan luasan wilayah yang luas dan juga bentang alam yang beragam. Islam sebagai keyakinan bagi warga masyarakatnya juga seharusnya wajib menjadi pijakan bernegara termasuk perencanaan tentang ibu kota.
Secara empiris, kita menyaksikan selama 13 abad lamanya, Islam berkuasa. Sebuah ibu kota negara berisikan kantor-kantor dan gedung pemerintahan yang dibangun sesuai kebutuhan masyarakat. Dibangun dengan tetap mempertahankan alam dan berdasarkan analisis mengenai dampak dari lingkungan. Semua itu agar alam tetap lestari dan terpelihara. Juga agar keberkahan ibu kota itu dinikmati semua manusia yang ada di muka bumi ini.
Kita memperhatikan bagaimana Kota Baghdad dan beberapa kota di Turki hari ini sebagai jejak kekhilafahan Ustmani. Kota-kota itu menyisakan bangunan dan jejak bisu atas bagusnya pelayanan negara saat itu.
Kota itu dibuat agar berguna sampai masa kapan pun. Gorong-gorong air yang luas di bawah tanah untuk menampung luapan air hujan yang intens. Juga jika sungai meluap di sekitarnya. Kita masih bisa menyaksikan gorong-gorong itu hingga hari ini. Wajar banjir hampir tidak pernah terjadi kecuali beberapa kali saja selama puluhan tahun.
Kita juga menyaksikan bangunan yang kokoh berdiri hingga hari ini sebagai tempat dijalankannya pemerintahan. Dibangun dengan perencanaan yang matang, tidak terburu-buru, tidak demi memuaskan ego perseorangan pemimpin yang sedang menjabat itu.
Bangunan itu dibangun dengan konsep pelayanan. Semua untuk rakyat. Ibu kota dibangun mandiri, tidak bergantung pada investor asing, namun semata-mata dari anggaran negara saja bukan yang lainnya. Konsep ini “menolak” penjajahan yang terselubung di balik investasi pihak luar. Proses pembangunannya pun cepat, birokrasinya mudah dan sangat profesional sesuai jargon pemerintahan Islam yang berbasis syariat. Tak ada korupsi di sana sini. Tak boleh ada dana umat dari anggaran yang terpakai kecuali dengan izin masyarakat. Masyarakat benar-benar dianggap raja sementara penguasa hanyalah pelayan umat.
Gedung-gedung ibu kota dihuni para pegawai negara saat bekerja. Operasionalnya pun sesuai kebutuhan umat. Dana operasional bersumber dari anggaran negara di baitul mal sesuai peruntukannya. Misalkan dari zakat, hanya untuk delapan asnaf saja, tidak dipakai untuk kepentingan pembangunan itu.
Adapun pembangunan ibu kota dan daerah, dananya diambil dari sumber anggaran lain di baitul mal semisal fai, kharaj, dan pemasukan negara yang dibolehkan syariat saja. Para penguasa sangat berpegang teguh untuk tidak menerima bantuan atau utang dari pihak mana pun yang “menyandera” keputusan penguasa itu di dalam kebijakannya.
Jadi, wajarlah jika dalam konsep pemerintahan Islam, tak ada ibu kota yang dibangun karena alasan lain termasuk ambisi pejabat tertentu yang seakan dipaksakan. Bukan cuma itu, pembangunan ibu kota IKN terlihat dan terkesan tak terencana. Terbukti setelah dibangun, gedung-gedung itu mangkrak dan tidak digunakan. Sebuah tindakan yang menyia-nyiakan harta (Idhoatul Mal) bahkan sampai mubazir.
Berangkat dari defenisi mubazzir oleh Syaikh Taqiyuddin An-nabhani, bahwa mubazzir itu bermakna pemanfaatan harta untuk sesuatu yang haram. Maka, adanya upaya pembiaran gedung-gedung ibukota baru ini untuk beroperasinya aktifitas para PSK sebagai pekerja penikmat seksual adalah sebuah keharaman. Tak cukup jika hanya dipantau, diawasi dan cuma sekedar terkejut saja. Andai tidak ada laporan warga setempat dan MUI setempat, mungkin seluruh masyarakat Indonesia ini tak akan pernah mengetahuinya.
Selayaknya para PSK itu dilarang beroperasi, ditutup tempatnya, dan dikembalikan mereka ke tempat asalnya. Lalu, mereka dibukakan lapangan pekerjaan yang halal secara luas. Tak cukup sampai di sini, mereka diberikan pekerjaan yang layak yang mencukupi untuk memenuhi kehidupan mereka dan seluruh masyarakat agar bisa hidup layak dan tercegah untuk kembali masuk dalam dunia gelap mereka sebelumnya.
Tugas ini menjadi kewenangan negara. Negara harus memikirkan pembukaan lapangan pekerjaan yang luas, layak, dan mudah dalam birokrasi agar tertutup peluang munculnya pekerjaan yang tidak sesuai dengan akhlak dan moral. Negara juga harus menutup aplikasi marketing online dan ofline yang digunakan para PSK untuk bertransaksi. Departemen komunikasi dan informasi menjadi pintu departemen yang harus memblok akun-akun marketing para PSK beserta para mucikarinya. Ini hal mudah. Namun, dibutuhkan political will dan good goverment agar tercapai upaya pencegahan itu.
Terakhir, negara harus memiliki anggaran yang cukup, bukan hutang atau mencari investor dalam mengelola IKN itu. Sayang sekali bangunan sudah berdiri, butuh dihidupkan dan dilakukan perawatan sesuai kebutuhannya. Negara harus terlepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan utang dan pajak sebagai sumber pemasukan negara.
Sementara kekayaan alam yang masih banyak tersisa ini harus dikelola mandiri dan hasilnya diberikan untuk seluruh masyarakat dalam bentuk pelayanan yang baik dan fasilitas umum yang gratis dan berkualitas. Masyarakat pasti akan mencintai penguasanya secara otomatis. Adapun dana 200 hingga 300 M yang dibutuhkan IKN untuk mengelola dan merawat bangunan infrastruktur di sana adalah jumlah yang kecil jika APBN negara bersumber pada sumber daya alam yang dikuasai negara dan dikelola mandiri. Konsep ekonomi kapitalisme ini harus diganti segera dengan konsep ekonomi masyarakat berbasis syariat.
Namun, sistem ekonomi berbasis syariat saja tidaklah cukup. Kita membutuhkan sinergitas sistem ekonomi itu dengan sistem pemerintahan, pendidikan, keamanan, pertambangan, pengelolaan tambang, sistem pelayanan yang juga berbasis syariat. Semua itu agar IKN yang sudah terbangun tak menjadi bangunan yang sia-sia. Angka 200-300 M tak ada apa-apanya jika anggaran negara berlimpah dan surplus.
Selama sistem ekonomi ini berbasis kapitalisme yang hari ini defisit hingga di titik tertinggi, selama itu pula IKN akan terbengkalai karena ketidakadaan biaya anggaran perawatan. Jika ini berlangsung lama maka bangunan itu akan hancur dan masyarakat di sana tak bisa terhindar dari kerusakan sosial dan moral yang lainnya. Kondisi ini butuh dipertimbangkan para punggawa negeri. Wallahualam bisawab.