
Oleh: Beta Arin Setyo Utami, S.Pd. (Tutor Rumah Belajar Anugrah Ilmu)
Linimasanews.id—Polemik uang kuliah tunggal (UKT) masih terus bergulir, disinyalir belum menemukan endingnya. Sebelumnya, kebijakan kenaikan UKT direspons keras oleh masyarakat. Penolakan dari masyarakat melalui kanal-kanal media sosial hingga gelombang besar demonstrasi mahasiswa dan berbagai kampus. Mereka menolak kenaikan UKT dan mendesak Kemendikbud Ristek mencabut Permendikbud Ristek No. 2/2024. Bahkan massa menuntut Menteri Nadiem Makarim mundur dari jabatannya jika tidak dapat menyelesaikan persoalan ini.
Hanya selang beberapa hari dari kegaduhan tersebut, Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengumumkan bahwa pemerintah membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) untuk tahun ini. Nadiem menyatakan, kementeriannya akan mengevaluasi permintaan peningkatan UKT yang diajukan oleh perguruan tinggi negeri (PTN). Namun ia mengatakan, kenaikan UKT pada masa depan pun harus sesuai dengan asas keadilan dan kewajaran (Kompas, 27/05/2024). Respons senada juga datang dari Presiden Jokowi menyebut ada kemungkinan UKT akan naik tahun depan. Ia ingin kebijakan itu dihitung ulang dan dicari cara agar tarif UKT tidak memberatkan mahasiswa (CNNIndonesia, 27/05/2024).
Bak kebijakan prematur, setelah digulirkan, masyarakat berisik, pemerintah merasa terusik, jadilah kebijakan ditarik. Setelah kebijakan kenaikan UKT menyeruak di permukaan dan direspons sedemikian keras oleh masyarakat, hanya berselang hitungan hari, UKT tidak jadi naik alias ditunda kenaikannya tahun ini. Entah tahun-tahun berikutnya akan naik berapa dan tepatnya kapan, masih terus digodok oleh pemerintah.
Bukankah seharusnya setiap kebijakan pemerintah harus melalui pengkajian yang matang baru bisa digulirkan? Apakah setiap kebijakan bisa dengan mudahnya berubah hanya karena berisik tidaknya rakyat? Artinya, jika masyarakat tidak berisik atau tidak menyuarakan penolakan, niscaya kebijakan kenaikan UKT akan melenggang dengan mulus. Karena masyakarat berisik, kebijakan tersebut untuk sementara ini ditangguhkan. Ibarat kebakaran, pemerintah sekadar memadamkannya dengan percikan air sebagai formalitas dan terkesan mengulur waktu, tanpa berusaha benar-benar mematikan sumber api dan mencegah kebakaran.
Kebijakan kenaikan UKT adalah kebijakan yang zalim dan mutlak harus ditolak, baik untuk saat ini ataupun yang akan datang. Tidak terkecuali juga untuk kebijakan-kebijakan zalim yang menjamur pada sistem sekuler kapitalis demokrasi yang diemban oleh negara saat ini.
Keharusan untuk menolak kebijakan zalim tidak hanya sekadar dorongan materi atau kepentingan, tetapi lebih dari itu karena dorongan akidah Islam yang mewajibkan demikian. Setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk menunaikan amar makruf nahi mungkar atau nasihat, terlebih mengoreksi penguasa. Nasihat adalah hak dan kewajiban bagi setiap orang ketika menyaksikan kemungkaran atau kezaliman.
Sebagaimana hadits Nabi saw., “Agama adalah nasihat, bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslimin dan bagi orang-orang awam.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Nasihat sebagai upaya mengubah perilaku mungkar atau zalim yang tidak dapat dilepaskan dari konteks dakwah, baik lisan maupun tulisan. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangan-nya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Kewajiban memberikan nasihat ini ditujukan baik kepada individu maupun institusi, seperti kepada penguasa. Ketika penguasa melakukan kemungkaran, rakyat wajib mengoreksinya. Sebab, kebijakan yang zalim jelas akan menyengsarakan rakyat dan mendatangkan kemudharatan dunia dan akhirat. Maka, kemungkaran seperti ini wajib diungkapkan kepada publik, yang tujuannya untuk membongkar rancangan dan konspirasi jahat.
Berikut salah satu contoh kebijakan Rasulullah saw. yang tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim agar pelakunya bertaubat dan pejabat lainnya tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid Al-Sa’idi, ia berkata: “Rasulullah saw. mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Ketika tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi dan Nabi menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ‘Bagian ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku.’ Rasulullah berkata, ‘Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu.’
Beliau pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah Swt., Beliau bersabda, ’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah Swt. dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah Swt. dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.’
Lalu, Nabi saw. mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah Swt. hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Inilah dalil sahih yang menunjukkan bahwa Rasulullah pernah menasihati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan publik. Beliau tidak hanya menasihati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi membedahnya di depan kaum Muslim secara terang-terangan.