
Oleh: Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Linimasanews.id—Sudah lebih dari 4 dekade, peringatan Hari Anak Nasional diselenggarakan, tetapi potret buram seakan terus membayangi kehidupan anak. Ucapan selamat Hari Anak seakan hanya menjadi serangkaian seremoni yang tak menyuguhkan arti. Tema yang diangkat sungguh memikat, setiap tahun mesti berubah. HAN 2025 yang bertajuk “Anak Hebat, Indonesia Kuat menuju indonesia Emas 2045” sepertinya perlu kerja keras untuk benar-benar mewujudkannya.
Dalam sepekan ini, gaung perayaan HAN 2025 seakan sudah meredup. Anak-anak tetap saja dihantui lembaran masalah yang tak pernah usai. Beragam masalah menimpa anak, anak putus sekolah, gizi buruk, kekerasan verbal dan seksual, bullying, kecanduan HP, dan lainnya. Jauh panggang dari api, harapan HAN 2025 adalah perkara yang luar biasa untuk menyongsong generasi emas 20 tahun mendatang, sementara remah-remah masalah, termasuk masalah anak kian marak.
Upaya perlindungan dan pemuliaan hak anak telah dilakukan, salah satunya upaya pemerintah dalam membuat UU khusus untuk perlindungan anak, yakni UU 35/2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Namun fakta berbicara lain, kepingan masalah anak tak jua memasuki gerbang solusi hakiki.
Upaya Mewujudkan Harapan Peringatan HAN
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, bersama Wakil Menteri PPPA, Veronica Tan, hadir langsung pada puncak Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 di Ruang Terbuka Hijau Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Menteri PPPA mengungkapkan kehadiran ini menjadi simbol komitmen negara dalam memastikan bahwa setiap anak Indonesia, dari Sabang hingga Merauke, mendapat ruang untuk tumbuh, berkembang, dan bermakna.
Menteri PPPA mengungkapkan peringatan HAN 2025 yang mengusung tema “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045” Bukan sekadar slogan, tema ini merupakan refleksi dari peran besar anak-anak sebagai generasi penerus yang akan memimpin dan membentuk wajah Indonesia di masa depan. Dalam konteks ini, anak bukan hanya penerima manfaat pembangunan, melainkan juga aktor utama dalam perubahan bangsa (kemenpppa.go.id, 23/7/2025).
Apa yang dinyatakan oleh Kementerian PPPA mengandung harapan besar bahwa anak akan menjadi aktor dalam medan pembangunan negeri ini. Harapan yang terselip dalam peringatan HAN sungguh mulia. Hanya saja potret permasalahan anak di berbagai wilayah juga terus terjadi. Permasalahan tersebut tentu tak akan terjadi begitu saja. Maksudnya, persoalan anak tak mungkin berdiri sendiri tanpa sebab.
Ruang hidup anak dipengaruhi oleh orang dan lingkungan sekitarnya, ada keluarga, sekolah, masyarakat, negara, ditambah dengan gemerlap dunia maya. Masing-masing pihak ini juga tegak secara parsial. Sebagai contoh keluarga, dalam menciptakan keluarga harmonis yang membuat anak tumbuh secara manusiawi dan berkembang dengan sesuai fitrag, bukan semata peran orang tua dalam kasih sayang dan perhatia. Orang tua juga dituntut memenuhi kebutuhan jasmani anak sehingga mereka harus memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, orang tua harus bekerja, berkutat dalam sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara.
Sementara sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi kapitalisme yang meniscayakan negara lepas tangan atas kebutuhan rakyat. Banyak pengangguran dan pemutusan hubungan kerja yang berimbas pada ketahanan ekonomi keluarga. Sehingga lahirlah persoalan pada anak, entah gizi buruk karena tidak terpenuhinya kebutuhan jasmani ataukah anak putus sekolah karena tak terjangkaunya biaya pendidikan bagi keluarga tersebut. Belum lagi hilangnya peran utama ibu karena dorongan ekonomi kapitalisme begitu dahsyat menuntut mereka ke luar rumah demi membuat dapur “ngebul” ataupun sebuah status keren sebagai wanita karir. Maka kian bertambahlah persoalan anak karena kurangnya perhatian dan kasih sayang ibu.
Lingkungan sekolah dewasa ini kerap menjadi sumber persoalan anak. Mulai kurikulum yang bergonta-ganti sehingga tidak bisa memberikan ruang yang tepat bagi potensi anak yang beraneka ragam, sampai masalah profesionalitas guru yang belum memadai. Kasus bullying di sekolah bukan hanya antarsiswa, tetapi guru pun sering menjadi subjek bullying. Selain itu, masyarakat cenderung cuek dengan kehidupan sekitar. Individualisme memenjarakan kontrol sosial sehingga persoalan anak kian marak.
Persoalan anak ini akan menjadi tembok penghalang untuk mewujudkan harapan anak hebat Indonesia kuat dua puluh tahun mendatang. Jika ditelaah lebih mendalam, penyebab utama persoalan anak adalah diterapkannya sistem kapitalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem kapitalisme ini justru menjadi penghalang utama harapan HAN akan terwujud di tahun 2045 mendatang. Bagaimana Indonesia kuat bisa terwujud jika anak hebat yang diharapkan dirundung persoalan yang tak berkesudahan.
Dampak Persoalan Anak atas Harapan Peringatan HAN
Berbagai persoalan yang menimpa anak akan memberikan dampak buruk atas terwujudnya harapan anak hebat, Indonesia kuat. Di antara dampak buruk tersebut, antara lain:
Pertama, lemahnya kepribadian bangsa. Saat anak diliputi persoalan, maka mereka akan berpotensi memiliki kepribadian (pola pikir dan pola sikap) yang lemah. Apalagi sistem kapitalisme berakidah sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan bernegara sehingga kepribadian anak akan dipengaruhi oleh kehidupan sekuler ini. Meski mayoritas penduduk negeri ini muslim, tetapi agama Islam tak dijadikan seperangkat aturan kehidupan secara kaffah. Maka kepribadian anak bisa dipastikan juga jauh dari nilai-nilai luhur agama Islam. Pola pikir dan pola sikap anak zaman now saat menghadapi persoalan begitu lemah, maka kepribadian bangsa berkorelasi dengan kepribadian anak yang akan menerima estafet kepemimpinan di masa depan.
Kedua, minimnya sumber daya manusia hebat, unggul, dan berkualitas di masa depan. Apabila anak terus dirundung persoalan, entah kenakalan remaja, narkoba, miras, pornografi, zina, judol, kekerasan, dll., bukan tidak mungkin bangsa ini akan diisi oleh para mafia. Harapan anak hebat, Indonesia kuat bagaikan pungguk merindukan bulan. Sumber daya manudka yang ada di satu atau dua dekade ke depan adalah SDM yang rusak dan toksik.
Ketiga, jati diri bangsa tergadaikan. Betapa persoalan pelik yang menghantam anak bisa menorehkan trauma. Anak bisa jadi akan krisis percaya diri atau bahkan krisis jati diri. Saat anak sudah kehilangan jati dirinya, maka jati diri bangsa juga akan terkoyak dan tergadaikan. Kepemimpinan seorang yang kehilangan jati diri, maka ia akan kehilangan arah, tak paham visi misi suatu bangsa dan berlanjutnya peradaban. Hal ini juga akan membawa petaka atas hilangnya jati diri bangsa.
Keempat, loss generation. Saat anak dirundung berbagai persoalan, apalagi mayoritas anak menjadi pelaku kriminal, maka peluang estafet kepemimpinan akan makin sempit. Negeri ini akan kehilangan generasi emasnya di masa yang akan datang karena mereka terlibat kriminal ataupun kenakalan remaja lainnya. Anak akan memiliki riwayat kelam tentang kelakuan baik sehingga mengurangi jatah SDM yang siap merancang perubahan ke arah yang lebih baik. Loss generation tak dapat dihindari saat banyak anak yang sudah asyik dengan kejahatan ataupun perilaku menyimpangnya.
Berbagai persoalan yang terjadi saat ini, akan berdampak buruk pula bagi masa depan bangsa jika tak segera diselesaikan hingga ke akarnya. Bukan tidak mungkin bangsa ini dipimpin para bajingan atau mungkin dipimpin para boneka. Bisa jadi pula persoalan anak bangsa saat ini memberikan dampak hilangnya kedaulatan negeri ini dengan sempurna. Maka dari itu, perlu perbaikan revolusioner, yakni perbaikan sistemis.
Strategi Islam dalam Mewujudkan Anak Hebat dan Bangsa yang Kuat
Saat ini, kapitalisme memandang tak ubahnya seperti komoditas bisnis. Berbagai produk industri hiburan dan perusak moral disuguhkan pada anak. Sungguh, pandangan tersebut berbeda dengan Islam. Islam memandang keberadaan anak sangat pentinh karena mereka adalah generasi hebat penerus peradaban. Dalam Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan tiap anak dalam berbagai lini kehidupan. Islam memandang bahwa anak tak membutuhkan slogan ataupun wacana agar haknya dapat dipenuhi dengan baik. Anak membutuhkan upaya nyata berupa kebijakan negara yang benar-benar memelihara urusan rakyat, termasuk anak-anak.
Islam tidak akan main-main dalam membentuk generasi hebat agar bisa mewujudkan bangsa yang kuat. Hebat di sini adalah generasi unggul, bermutu, dan mulia yang tumbuh kembangnya diiringi iman dan takwa sebagai hamba Allah Swt. Hal itu butuh peran negara. Berikut strategi Islam dalam mewujudkan generasi hebat:
Pertama, negara wajib memberikan pembinaan intensif pada anak untuk membentuk akidah Islam yang kokoh sejak dini. Negara akan menjaga akidah tiap individu rakyat, terutama kalangan anak agar tidak tercemar pemikiran asing yang dapat merusak akidah mereka. Negara akan menutup celah apa pun agar pemikiran asing tidak masuk. Bahkan, negara akan memasifkan syiar Islam melalui media agar anak terhindar dari kemaksiatan.
Kedua, negara akan mengoptimalkan fungsi keluarga dalam urusan pendidikan dan hadhonah anak. Negara akan memberikan pembinaan seputar pergaulan Islam pada calon orang tua ataupun calon pengantin agar benar-benar memahami perannya. Suami dengan kepemimpinanan dan tanggung jawab mencari nafkah. Sementara istri berperan sebagai ummun warobbatul bayt. Negara juga akan menegaskan posisi nasab dalam tiap keluarga agar tidak rusak. Bibit unggul akan benar-benar terlahir dari keluarga yang paham syariat Islam dan taat kepada Allah.
Ketiga, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam. Negara akan mewujudkan amanat pendidikan berbasis akidah Islam yang bertarget besar untuk menghasilkan generasi mulia, hebat, dah unggul dalam berkepribadian Islam, pengisi peradaban, dan siap terjun ke masyarakat untuk mengemban dakwah Islam. Potret pendidikan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) tidak dijadikan ajang komersial. Biaya pendidikan dalam pandangan Islam menjadi tanggung jawab negara, gratis dan berkualitas. Wallahualam.