
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Tak habis-habisnya penderitaan warga Gaza, Palestina. Bukan hanya tempat tinggal dan seluruh fasilitas kehidupan mereka dihancurkan, kini mereka tengah mengalami kondisi yang paling mengerikan dalam sebuah peperangan: kelaparan akibat blokade yang dilakukan oleh Zionis Yahudi sejak 2 Maret 2025 lalu. Kelaparan yang dijadikan senjata oleh penjajah tak berhati ini, lebih keji daripada dijatuhkannya rudal, bom, dan senjata api lainnya. Sebab, penduduk Gaza tak bisa menghindar atau berlindung dari rasa lapar, sehingga tanpa adanya pasokan bahan pangan, warga Gaza bisa tewas secara perlahan.
Dilansir dari Al-Jazeera, Minggu (3/8/2025), total korban tewas mencapai 175 orang, termasuk 93 anak-anak karena kurangnya konsumsi makanan dan malnutrisi. Kelaparan akut ini terjadi akibat pengepungan dan serangan Israel. Kantor pemerintah Gaza melaporkan, hanya 36 truk bantuan yang memasuki Gaza pada Sabtu (2/8). Padahal menurut perkiraan PBB, seharusnya 500 hingga 600 truk bantuan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari penduduk (DetikNews.com, 3/8/2025).
Selain itu, banyak truk bantuan yang membawa bahan pangan termasuk susu formula dan obat-obatan yang ditahan di luar perbatasan. Akibatnya, bantuan tersebut tak bisa masuk dan dibiarkan membusuk.
Dunia bukannya diam tanpa kata, mayoritas masyarakat di penjuru dunia mengecam kekejaman Zionis Yahudi dan menekan para pemimpin negaranya untuk meminta Israel membuka blokade, sehingga bantuan bisa masuk ke Gaza. Namun, Israel justru membuat ‘perangkap maut’ melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang dibuatnya bersama Amerika. Seolah memberikan bantuan makanan, ketika warga sudah berkumpul untuk mendapatkan bantuan, tentara Zionis menembaki mereka.
Makin tampaklah kezaliman Israel terhadap warga Gaza, Palestina. Dunia menyaksikannya, tetapi tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan genosida ini. Berulang kali disepakati gencatan senjata, berulang kali pula Israel melanggarnya. Serangan dari beberapa negara muslim, seperti Iran, Yaman, dan Lebanon, tetap tak sedikitpun mengurangi intensitas serangan Israel ke Gaza, bahkan makin brutal saja.
Lantas, negara-negara lain termasuk negara muslim mengajukan solusi dua negara yang digadang-gadang bisa mendamaikan Palestina-Israel. Padahal, itu bukan solusi yang sebenarnya. Mirisnya, sejumlah 17 negara termasuk Liga Arab dan Uni Eropa pada 28-30 Juli 2025 menyelenggarakan rapat di New York. Deklarasi New York ini merupakan pertemuan konferensi tingkat tinggi internasional PBB tentang implementasi solusi dua negara. Ketujuh belas negara termasuk Indonesia tersebut menyetujui pelucutan senjata ke Hamas dan meminta Hamas menyerahkan kekuasaan di Gaza.
Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, keputusan itu disepakati oleh Palestina, sebab perwakilan dari Palestina turut hadir dalam rapat tersebut. Hasilnya, Hamas harus mengakhiri kekuasaannya di Gaza dan menyerahkan senjata ke Otoritas Palestina dengan keterlibatan dan dukungan internasional. Mereka juga turut mengecam serangan 7 Oktober 2023 yang dilakukan oleh Hamas terhadap warga sipil (CNNIndonesia.com., 1/8/2025).
Hamas adalah kelompok militan yang selama ini berjuang untuk membela rakyat Palestina. Namun, dunia internasional selalu menarasikan kelompok ini sebagai penjahat dan teroris. Sementara, Otoritas Palestina yang seharusnya menjadi pelindung bagi penduduk Palestina, selama ini tidak terdengar pembelaannya di saat warganya digenosida.
Selain menampakkan kebenciannya terhadap kelompok pejuang, justru pemimpinnya bersikap ramah terhadap penjajah. Contohnya, ketika wilayah pendudukan Israel mengalami kebakaran mereka segera menawarkan bantuan untuk memadamkan api. Padahal, negara-negara lain enggan melakukannya. Lantas, apa jadinya jika nanti wilayah Gaza diserahkan sepenuhnya tanpa adanya kelompok perjuangan yang membela?
Kesepakatan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan. Palestina harus merdeka dan terbebas dari bayang-bayang penjajahan Israel. Solusi dua negara justru akan mengukuhkan kedaulatan Israel di bumi Palestina. Tidak ada jaminan kalau Israel akan membiarkan penduduk Palestina hidup aman dan damai, hidup berdampingan dengan bangsa yang menjajah mereka selama puluhan tahun.
Seharusnya, negeri-negeri muslim tidak percaya begitu saja pada usulan negara-negara Barat yang disetujui oleh PBB. Ingat, dukungan mereka terhadap Palestina hanyalah pencitraan belaka. Sebab, dari awal mereka sudah mendukung berdirinya negara ilegal Israel. Negeri-negeri muslim harus memikirkan solusi yang benar-benar membebaskan Palestina dari Zionis Israel selamanya.
Solusi satu-satunya untuk membebaskan Palestina hanyalah dengan jihad fi sabilillah. Hanya saja, tidak ada satupun pemimpin negeri muslim hari ini yang berani menyatakan perang terhadap Israel. Apalagi bersatu dalam satu kesepakatan untuk mengirimkan tentara militer ke Palestina untuk mengusir penjajah Israel. Mereka hanya berkumpul dan beraliansi dengan negara-negara kafir untuk bernegosiasi secara politik, mencari solusi semu yang tidak mungkin terwujud. Tidak ada nyali untuk menyuarakan kebenaran karena tersandera oleh berbagai macam kepentingan. Sebab, keberlangsungan kekuasaan mereka sangat bergantung pada kerja sama internasional. Inilah topeng yang dikenakan oleh para pemimpin negeri-negeri Islam saat ini.
Maka, harapan yang tersisa adalah kesadaran seluruh umat Islam bahwa persatuan umat adalah hal yang menggetarkan penguasa-penguasa Barat yang zalim. Yakni, persatuan umat di bawah satu naungan dan kepemimpinan dalam bingkai Khilafah Islamiah.
Sudah terlalu lama umat Islam terpecah-belah, dipisahkan dari tubuh yang menyatukannya. Kesatuan umat terkoyak, sehingga perasaan sakit apabila bagian tubuhnya sakit menjadi hilang. Paham nasionalisme dan kebangsaan yang ditanamkan dalam benak kaum muslimin telah berhasil mengikat mereka pada kejumudan (kebekuan). Mereka tidak paham akan wajibnya menegakkan Daulah Islam agar syariat Islam bisa diterapkan. Bahkan, mereka tidak sadar bahwa sistem yang berlaku atas diri mereka saat ini adalah sistem buatan kafir untuk melemahkan kekuatan umat Islam. Alhasil, umat saat ini mudah digiring untuk membebek pada Barat dalam segala aspek.
Untuk itu, haruslah ada kelompok dakwah yang konsisten berjuang membangkitkan pemikiran dan mengubah pemahaman umat Islam, kelompok yang hadir di tengah-tengah umat yang sedang sakit, dengan membawa obat berupa ideologi Islam. Yakni, pemahaman bahwa Islam adalah agama yang paripurna. Bukan sekadar mengatur masalah aqidah dan ibadah ritual saja, tetapi memiliki aturan yang lengkap untuk seluruh aspek kehidupan manusia.
Ideologi Islam yang menyeluruh ini hanya bisa diterapkan dengan tegaknya Daulah Islam. Dengannya akan tegak pula perintah jihad fi sabilillah melawan penjajah Israel dan membebaskan Palestina. Apakah itu mungkin? Bukan masalah mungkin atau tidak, tetapi mau atau tidak umat untuk mewujudkannya. Sebab, tegaknya kembali Khilafah adalah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tugas umat hanya berikhtiar dan berjuang, sedangkan kapan dan di mana tegaknya adalah ketetapan-Nya.