
Oleh: Yuni Oktaviani (Aktivis Muslimah, Pekanbaru-Riau)
Linimasanews.id—Isu kemiskinan memang bahan empuk untuk dijadikan pencitraan dan patokan sebuah pemerintahan berprestasi atau tidaknya. Lucunya, angka statistik dipoles sedemikian rupa agar terlihat cantik meskipun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Rakyat tetap susah, bergelut dengan penderitaan yang tak berujung. Apa memang menurun atau tidaknya angka kemiskinan sangat berarti di negara ini? Lalu, tidakkah rakyat ingin kehidupannya sejahtera tanpa harus diiming-imingi angka hasil survei? Lantas seperti apa Islam memberikan solusinya?
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang atau turun 0,10 persen dibanding September 2024. Diketahui, standar yang dipakai adalah penghasilan sebesar Rp609.160 per bulan, atau sekitar Rp20.305 per hari. Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, meragukan data dari BPS tersebut lantaran dinilai tak sesuai dengan realita di lapangan (tirto.id, 26/07/2025).
Tidak Masuk Akal
Bayang-bayang panjang masalah kemiskinan di Indonesia tak kunjung usai. Harapan demi harapan yang telah dipupuk akan adanya lapangan pekerjaan atau kesejahteraan meningkat di masa depan pun tak ada artinya. Alih-alih sejahtera, nasib rakyat malah terpinggirkan dengan kepentingan para penguasa dan oligarki.
Hal ini tampak dari makin melonjaknya jumlah PHK dimana-mana, sulitnya mengenyam pendidikan, memenuhi kebutuhan pokok dengan makanan dan minuman yang memadai, atau bahkan masih banyak orang-orang tinggal di kolong jembatan. Anehnya, angka kemiskinan menurut standar Badan Pusat Statistik (BPS) justru turun atau berkurang 0,10 persen. Sungguh mengejutkan. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan fenomena yang bertolak belakang dengan penurunan angka kemiskinan oleh data BPS tersebut. Sehingga, disinyalir adanya ketidakakuratan data, juga salah kaprah pemerintah melalui BPS dalam membuat standar atau indikator kemiskinan di negara ini.
Salah Kaprah Sistem Kapitalisme
Apalah arti sebuah angka hasil sebuah survei apabila tidak ada sinkronisasi pada realitasnya. Seperti kemiskinan versi pemerintah dalam sistem kapitalisme ini yang cenderung subjektif dengan standar “semau gue.” Perkara yang penting adalah angka presentase di atas kertas menunjukkan penurunan.
BPS sebagai alat pemerintah dalam hal ini memakai standar atau tolak ukur kemiskinan dengan penghasilan Rp609.160 per bulan. Atau sekitar Rp20.305 perharinya. Sangat rendah sekali bukan? Sudah pasti dengan standar ini semua penduduk Indonesia tidak ada yang miskin. Lalu, bagaimana dengan fakta di lapangan banyaknya masyarakat yang mengantri mencari lowongan pekerjaan? Atau badai PHK yang justru melonjak tajam?
Belum lagi, beberapa kasus kematian ulah kelaparan, dan kasus kriminalitas yang marak disebabkan karena kemiskinan yang mendera masyarakat negeri ini. Harusnya pemerintah tidak perlu menutup mata atau sampai memanipulasi angka agar disebut berprestasi. Padahal, secara riil kesejahteraan di masyarakat tidak meningkat.
Inilah akibatnya ketika penguasa hanya bertindak sebagai regulator, bukan pengurus rakyat. Penguasa atau pemerintah di sistem kapitalisme seperti saat ini bisanya hanya membuat aturan yang memihak kepada pemilik modal. Kekayaan alam yang melimpah ruah dikeruk habis-habisan untuk kepentingan mereka semata. Sementara rakyat menjadi kaum yang terpinggirkan, dan hidup serba kesusahan.
Tidak ada solusi berarti yang mampu diberikan oleh negara kepada kondisi rakyat yang mengenaskan. Sebagian besar hanya sekedar janji manis dan omong kosong semata. Sementara akar masalah sesungguhnya yakni sistem ekonomi kapitalisme yang tumpul dan menindas dibiarkan menjajah kehidupan negeri ini.
Kembali kepada Sistem Ekonomi Islam
“Gemah ripah loh jinawi.” Peribahasa satu ini tentu tidak asing lagi di setiap mata yang membacanya. Begitulah sebutan untuk Indonesia. Tanahnya yang kaya, dari darat, lautan, hingga dalam bumi, berbagai bahan tambang ada disana. Sebut saja nikel, batu bara, emas, minyak bumi, dan masih banyak yang lain. Jika kekayaan alam trsebut dikelola dengan baik dan benar, tentu hasil sumber daya alam yang melimpah ruah itu mampu membuat hidup rakyat sejahtera. Sayangnya, kapitalisme dengan sistem ekonominya malah justru menyengsarakan.
Dalam kapitalisme, individu atau perusahaan boleh memiliki sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kepemilikan pribadi seperti inilah yang menjadi pilar utama sistem ekonomi kapitalisme. Ironisnya, terdapat legitimasi lewat berbagai undang-undang berkaitan dengan penguasaan sumber daya ekonomi ini oleh para oligarki.
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi 3, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum dan negara tidak boleh menjadi hak milik individu. Selayaknya sumber daya alam yang melimpah ruah harus dibagikan kepada umum atau rakyat secara merata.
Karena itu, negara yang menerapkan syariah Islam wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat yang diurusnya. Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok setiap individu baik sandang, pangan, dan papan. Serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan kata lain, tujuan ekonomi dalam sistem Islam bukanlah menciptakan kekayaan nasional, namun mendistribusikan kekayaan kepada seluruh rakyat secara adil.
Seperti sabda Nabi saw., “Imam (Kepala Negara) adalah pengurus rakyat dan Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Kontrol ketat juga dilakukan untuk melihat apakah rakyatnya hidup dengan baik, atau kesusahan. Selain itu, pemimpin dalam Islam sudah pasti akan memastikan langsung distribusi hasil sumber daya alam dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Sehingga, survei atau lembaga yang bertugas mengukur angka kemiskinan tidaklah diperlukan. Karena kehidupan rakyat di negara yang menerapkan syariat Islam pasti akan sejahtera, tidak berkekurangan. Wallahualam bis-shawab.