
Oleh: Melda Utari
Linimasanews.id—Di tengah kemajuan globalisasi dan pertumbuhan ekonomi, kemiskinan masih menjadi persoalan besar, bahkan di negara-negara yang menganut sistem kapitalisme. Berdasarkan data World Bank, lebih dari 700 juta orang di dunia hidup di bawah garis kemiskinan. Ironisnya, ketimpangan kekayaan kian melebar: segelintir orang menguasai sebagian besar sumber daya, sementara jutaan lainnya berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Sistem kapitalisme membangun standar kesejahteraan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan kepemilikan modal, bukan pada pemerataan distribusi. Hal ini melahirkan persaingan bebas yang cenderung hanya menguntungkan pihak yang kuat secara finansial, dan meminggirkan masyarakat lemah secara struktural. Kapitalisme menjadikan manusia sebagai objek ekonomi, bukan subjek kemanusiaan.
Dalam kapitalisme, standar keberhasilan diukur dari produktivitas dan konsumsi, bukan dari nilai kemanusiaan atau keberkahan. Sistem ini membuka peluang akumulasi kekayaan tanpa batas, tapi lemah dalam hal pemerataan dan keadilan sosial. Negara dalam sistem kapitalisme pun cenderung bertindak sebagai fasilitator korporasi besar, bukan pelindung rakyat kecil.
Dalam logika kapitalisme, kemiskinan sering dianggap sebagai “kesalahan individu,” bukan akibat dari struktur sistemik. Padahal, realitas menunjukkan bahwa banyak orang miskin justru terjebak dalam sistem yang tidak memberi mereka akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak. Maka tak mengherankan negara tak mengambil peran dalam menyelesaikan persoalan ini, justru membiarkan dan memperkaya elite kapital dengan alasan manfaat yang mereka peroleh dari mereka.
Berbeda jauh dengan kapitalisme, Islam memandang ekonomi sebagai sarana ibadah dan kemaslahatan umat. Tujuan sistem ekonomi Islam bukan hanya menciptakan pertumbuhan, tetapi juga memastikan keadilan dan kesejahteraan merata. Adapun beberapa prinsip Islam dalam mewujudkan kesejahteraan:
1. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf sebagai unsur wajib dan sukarela untuk membersihlmkan kekayaan.
2. Larangan riba dan manipulasi pasar, yang melindungi masyarakat dari penyalahgunaan ekonomi.
3. Negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan) secara langsung.
4. Kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi, tapi dikelola negara untuk kepentingan rakyat.
Dalam sejarah Islam, sistem ini berhasil diterapkan oleh Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin, hingga mampu menghapus kemiskinan di tengah masyarakat Madinah. Hal yang sama kemudian berlanjut pada kepemimpinan Islam di bawah daulah Khilafah Islamiyah hingga sampai masa runtuhnya. Kemiskinan yang terus terjadi hari ini bukanlah takdir, akan tetapi hasil dari sistem yang salah arah.
Sistem kapitalisme telah menciptakan standar kesejahteraan yang elite, menjadikan kemiskinan sebagai bagian dari permainannya. Islam menawarkan solusi hakiki, sebuah sistem yang menempatkan keadilan, keberkahan, dan kesejahteraan umat sebagai tujuan utama. Apalagi standar hukum Islam ialah syariat Allah, dan setiap perbuatannya dilandaskan pada meraih Ridho Allah, bukan manfaat.
Saatnya umat kembali menjadikan Islam sebagai panduan hidup yang kaffah, termasuk dalam urusan ekonomi. Sebab, hanya dengan sistem Islam kesejahteraan sejati bisa diwujudkan, bukan sekadar mimpi dalam tingkat ekonomi. Caranya ialah dengan belajar dengan sungguh-sungguh tentang syariat Islam yang mengkaji seluruh aspek kehidupan termasuk perihal ekonomi sesuai syariat, kemudian mendakwahkannya di tengah-tengah umat serta menjadikannya sebagai opini umum yang diperbincangkan oleh umat. Sehingga ketertarikan umat akan kembalinya pada sistem yang hakiki ini terbentuk, dan umat pun turut berjuang untuk menyongsong kembali tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah sebagaimana yang pernah diperjuangkan oleh Rasulullah saw. Wallahualam bisawab.