
Oleh: Rahma Wati (Pemerhati Sospol, Deli Serdang)
Linimasanews.id—Kriminalitas makin marak dengan kadar kekerasan makin mengerikan, tak terkecuali di kalangan pemuda. Generasi saat ini diliputi berbagai kemaksiatan, seperti penyalahgunaan narkoba, tawuran, hingga pembegalan. Generasi juga terlihat lemah dalam mengendalikan diri ketika menghadapi persoalan hidup, termasuk saat dilanda kecemasan dan ketakutan.
Fenomena ini kembali mencuat setelah sebuah video berdurasi 19 detik viral di media sosial. Video tersebut menampilkan aksi kekerasan terhadap seorang pelajar berseragam Pramuka di SMK Negeri 2 Pangkep, Sulawesi Selatan. Dalam rekaman, korban berinisial MA (16 tahun) tampak dihujani pukulan oleh pelaku berinisial F (16 tahun )di Jalan Raya depan sekolah, disaksikan sejumlah siswa lain yang justru merekam kejadian dengan ponsel mereka.
Tidak hanya kasus itu, sebanyak 54 pelajar diamankan polisi karena diduga hendak tawuran di wilayah Serpong, Tangerang Selatan, pada Sabtu 8 Agustus 2025 sekitar pukul 03.00 WIB. Di Jakarta, Unit Reskrim Polsek Metro Penjaringan menangkap lima remaja berstatus pelajar yang terlibat aksi pembegalan terhadap seorang sopir truk ekspedisi di lampu merah Jalan Gedong Panjang Penjaringan. Aksi kekerasan juga terjadi pada anak usia Sekolah Dasar (SD) di Sumatera Selatan seorang siswa sekolah dasar kelas 4 tahun menusuk pelajar MTS kelas 2 RI 13 tahun dengan gunting di bagian leher hingga korban meninggal dunia (Beritasatu.com, 8/8/2025).
Miris. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa kekerasan tidak mengenal usia. Aksi kekerasan yang makin marak dilakukan pelajar, sejatinya membuktikan kegagalan sistem pendidikan sekuler kapitalis dalam membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Alih-alih melahirkan pribadi-pribadi yang memahami jati dirinya sebagai muslim, pendidikan sekuler justru menghasilkan generasi yang kehilangan arah, tidak memahami tujuan hidupnya, serta tidak tahu tentang berpikir dan bertindak sesuai misi penciptaan yang telah ditetapkan Allah.
Ketidakpahaman ini makin parah karena tidak adanya lingkungan sosial yang kondusif dan suportif dalam membentuk sakhsiyah islamiyah (karakter islami). Sebaliknya, generasi justru dibentuk oleh lingkungan yang permisif terhadap kemaksiatan, pergaulan bebas kekerasan, dan budaya hedonistik.
Media massa dan media sosial yang seharusnya menjadi sarana edukasi dan pembinaan moral, kini bebas tanpa kontrol yang ketat, memuat konten-konten yang sarat pemikiran rusak, nilai-nilai liberal dan budaya asing yang merusak pola pikir, serta pola sikap generasi. Akibatnya, para pemuda makin jauh dari nilai-nilai Islam, kehilangan kemampuan membedakan benar dan salah, serta mudah terjerumus dalam berbagai bentuk penyimpangan moral dan kriminalitas.
Semua ini membuktikan bahwa negara lepas tanggung jawab dalam menjamin terselenggaranya pendidikan berkualitas yang menghasilkan pelajar berkepribadian mulia. Penerapan sistem kapitalisme sekuler memandang pendidikan tidak sebagai kebutuhan pokok yang harus disediakan dengan tujuan mulia, tetapi sebagai objek komersial yang membutuhkan biaya mahal untuk mengaksesnya.
Sejatinya, berbagai persoalan yang menimpa generasi saat ini membutuhkan sistem yang mampu memberikan solusi secara komprehensif dan menyentuh akar masalah. Solusi itu hanya dapat diwujudkan melalui penerapan sistem Islam secara kafah di bawah institusi negara khilafah.
Dalam sistem Islam (khilafah), negara bertindak sebagai penanggung jawab atas seluruh urusan umat, termasuk pendidikan, pembinaan, dan perlindungan generasi. Islam mewajibkan penguasa untuk memastikan setiap individu terbina dengan akidah yang kuat, akhlak yang mulia, dan keterampilan yang bermanfaat.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR.al-Bukhari dan Muslim)
Dengan prinsip ini, negara tidak hanya mengatur aspek formal pendidikan, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang bersih dari kemaksiatan, mengontrol media agar selaras dengan nilai Islam, serta memberikan keteladanan melalui aparatur yang berintegritas. Sistem pendidikan Islam tidak hanya berfokus pada penanaman nilai akademis semata, tetapi juga menekankan pembentukan kepribadian Islam pada generasi. Pendidikan diarahkan agar setiap individu memiliki pola pikir dan pola sikap yang berlandaskan akidah Islam, sehingga ilmu yang dimiliki tidak terpisah dari nilai-nilai keimanan. Dengan demikian, masyarakat akan memahami Islam secara benar.
Sistem pendidikan Islam yang diterapkan khalifah di bawah sistem politik dan ekonomi Islam akan menghadirkan pelayanan terbaik bagi umat, mulai dari pendidikan gratis, hingga kurikulum pendidikan yang menghasilkan generasi yang beriman dan bertakwa, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berjiwa pemimpin.
Di bawah kepemimpinan khalifah, fungsi pendidikan ini akan berjalan seiring dengan pengaturan media yang sangat ketat. Negara akan mengontrol media agar berperan sebagai sarana edukasi, pembinaan akhlak, dan penyebaran dakwah. Bukan sekadar hiburan atau informasi yang bebas nilai. Konten yang bertentangan dengan ajaran Islam serta merusak moral atau menumbuhkan pemikiran menyimpang akan dicegah. Sementara, media yang menumbuhkan keimanan ketakwaan dan kecintaan pada Islam akan didukung penuh dengan sinergi antara pendidikan dan media yang dikendalikan oleh syariat. Dengan begitu, generasi akan tumbuh dalam lingkungan yang sehat cerdas dan berakhlak mulia.