
Oleh: Diana Nofalia, S.P.
(Aktivis Muslimah)
Linimasanews.id—Belakangan ini, kita dikagetkan dengan berita terkait tunjangan aakil rakyat yang jumlahnya sangat fantastis yaitu 100 juta lebih per bulan. Jumlahnya tentu memancing respons banyak pihak, khususnya rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, di saat ekonomi rakyat makin terpuruk, ditambah lagi dengan banyaknya kasus PHK dan juga adanya kenaikan pajak yang mencapai ratusan persen dari tarif pajak sebelumnya, nilai tunjangan wakil rakyat tersebut dinilai sangat kontradiktif dengan keadaan masyarakat saat ini. Alhasil, Kesenjangan makin dirasakan antara pejabat dengan rakyat.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan, sehingga total gaji dan tunjangan mereka menjadi lebih dari Rp100 juta per bulan. Di tengah berbagai gejolak ekonomi yang dihadapi saat ini, besaran pendapatan tersebut dinilai menyakiti perasaan rakyat (beritasatu.com, 21/8/2025).
Para pengamat menilai bahwa hal ini tidak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat dan tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan. “Warga mendapatkan kesulitan dalam hal hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan ada pajak yang dinaikkan, keputusan soal perumahan ini bukan keputusan yang patut,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha kepada BBC News Indonesia, Senin (18/08).
Besaran penghasilan ini terungkap ketika anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi pertanyaan mengenai sulitnya mencari uang yang halal di parlemen. Hasanuddin kemudian membuka penghasilan resmi yang diterimanya melalui gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya yang melebihi Rp100 juta (bbc.com, 19/8/2025).
Anggota DPR mendapat bermacam-macam tunjangan sehingga mencapai nilai 100 juta tiap bulan. Angka tersebut dinilai oleh para pengamat tidak layak di tengah sulitnya ekonomi masyarakat. Selain itu, tunjangan ini dinilai tidak sepadan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan.
Dalam sistem demokrasi-kapitalisme, kesenjangan adalah sebuah keniscayaan. Politik transaksional adalah sesuatu yang mewarnai sistem ini, karena materi adalah tujuan utama yang ingin diraih. Mereka yang menjabat bahkan sah-sah saja menentukan besaran anggaran untuk kepentingan mereka sendiri.
Jabatan dijadikan alat untuk memperkaya diri. Kepuasan yang ingin diraih menghilangkan empati pada rakyat yang diwakili. Mereka abai dengan amanah sebagai wakil rakyat yang harusnya memperjuangkan hak dan aspirasi rakyat. Janji kepada rakyat sebatas retorika manis yang pada kenyataannya manisnya ingin mereka rasakan sendiri setelah menjabat.
Ada perbedaan tugas wakil rakyat dalam sistem Demokrasi dan Islam. Dalam Islam, majelis umat adalah media pengambilan pendapat, bukan untuk menetapkan kebijakan negara. Hal ini berbeda dengan sistem demokrasi, parlemen wakil rakyat merupakan manifestasi dari kedaulatan di tangan rakyat. Parlemen ini menjadi pilar dasar sistem pemerintahan ideologi kapitalisme. Lain halnya dengan Islam yang meletakkan kedaulatan itu hanya pada hukum syarak, bukan akal manusia. Ketika akal manusia dijadikan dasar penetapan hukum, akhirnya hukum ditetapkan berdasar baik atau buruknya sesuai akal manusia, sehingga hukum Allah tak jarang dikesampingkan dalam membuat hukum.
Jabatan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah, termasuk sebagai anggota majelis umat. Maka dari itu menjadikan jabatan sebagai alat untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri adalah dosa besar. Pejabat yang melakukan ini akan dikenakan sanksi yang tegas agar tidak memberikan pengaruh buruk bagi pejabat lainnya. Sehingga penyelewengan jabatan tidak akan menjamur.
Setiap muslim wajib memiliki kepribadian Islam, termasuk anggota majelis umat. Landasan keimanan yang kuat akan menjaga mereka dalam setiap amanah dan tanggjawab yang mereka emban. Dunia tak akan memalingkan mereka dari tujuan hidup sesungguhnya yaitu ridho Allah semata. Dengan demikian, mereka akan menjalankan amanah dengan semangat fastabiqul khairat. Wallahualam.