
Editorial—Banjir bandang yang melanda Bali pada September ini sungguh memilukan. Enam kabupaten/kota terdampak, 123 titik lumpuh, 18 nyawa melayang, ratusan orang mengungsi. Tukad Badung menyempit karena dipenuhi bangunan. Hutan di hulu Gunung Batur menyusut drastis: dari 49 ribu hektar, kini tinggal 1.200 hektar saja. Dalam dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata meningkat dua kali lipat.
Bencana ini tidak bisa lagi dianggap sebagai sekadar faktor alam. Alih fungsi lahan masif menjadi biang keladi utama. Sawah, subak, dan hutan dikorbankan untuk hotel, vila, dan akomodasi pariwisata. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hanya sebatas dokumen formal, implementasi lemah, bahkan banyak bangunan berdiri di bantaran sungai. Dengan dalih mendatangkan devisa, pembangunan kapitalistik justru merusak keseimbangan ekologis yang menjadi penopang kehidupan masyarakat.
Kapitalisme melihat alam hanya sebagai objek komersialisasi. Sungai, hutan, dan air dianggap sumber keuntungan, bukan amanah untuk dijaga. Pemerintah lebih sibuk mengejar turis dan investasi ketimbang menjaga keselamatan rakyatnya sendiri. Tidak heran bila banjir bandang terus berulang, karena akar masalah tidak pernah diselesaikan.
Padahal, Islam mengajarkan konsep pengelolaan alam yang berbeda. Dalam pandangan Islam, air, hutan, dan sumber daya alam adalah milik umum, bukan komoditas privat. Negara bertugas menjaga, bukan menjual. Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an (Ar-Rum: 41), “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia.” Kerusakan ekologis adalah konsekuensi dari manusia yang mengabaikan hukum Allah.
Islam juga menempatkan pembangunan dalam kerangka maslahat umat, bukan keuntungan investor. Negara dalam sistem Islam tidak menjadikan pariwisata sebagai penopang utama keuangan. Pemasukan negara berasal dari sumber-sumber syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, dan pengelolaan langsung sumber daya alam. Dengan demikian, pembangunan tetap selaras dengan kelestarian lingkungan.
Banjir Bali harus menjadi momentum untuk berbenah. Jika paradigma pembangunan tidak berubah, maka tragedi akan terulang, bahkan lebih parah. Sudah saatnya negeri ini meninggalkan paradigma kapitalistik yang rakus, dan kembali kepada tata kelola berbasis amanah ilahi. Hanya dengan sistem Islam, keseimbangan alam terjaga, rakyat terlindungi, dan bencana bisa dicegah sejak awal. [OHF]