
Suara Pembaca
Baru-baru ini, pemerintah telah meneken dalam PP Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Pemerintah memberlakukan program tersebut bagi seluruh pekerja, baik PNS maupun swasta. Sebelumnya telah ada banyak jenis pungutan yang harus ditanggung rakyat. Seperti PPH 21/pajak penghasilan, JHT, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan (BPJS). “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga,” begitulah ibarat bagi buruh di Bekasi khususnya dan masyarakat seluruh Indonesia pada umumnya.
Adapun mekanisme pemungutan Tapera sesuai presentasi gaji karyawan yang telah diterima. UMR (Upah Minimum Regional) Bekasi (tertinggi) dibanding daerah lain sebesar Rp5.343.430 maka iuran tapera 2,5 persen senilai Rp133.585 dan dibebankan kepada pemberi kerja/ pengusaha 0,5 persen atau sekitar Rp26.717 (27/5).
Sungguh miris, di tengah kondisi rupiah yang mengalami inflasi dan berdampak pada lonjakan harga barang kebutuhan pangan, rakyat masih harus terbebani pungutan tapera. Pada akhirnya, rakyat makin kesulitan menangani ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran akibat pungutan Tapera yang tak masuk akal ini. Keinginan rakyat memiliki rumah jauh dari harapan.
Secara kalkulasi, jika selama bekerja biaya yang terkumpul semisal selama 20 tahun hanyalah sekitar Rp25,2 juta. Hal ini menjadi pertanyaan besar, apakah uang tersebut nantinya cukup untuk membeli rumah sedangkan nilai rupiah makin kecil dan mengalami inflasi. Seperti yang diungkapkan oleh presiden Partai Buruh Said Iqbal (29/5).
Dalam hal ini, kebijakan dan aturan tak luput bersumber dari ide sekularisme beraroma kapitalistik. Dengan dalih memberikan solusi memiliki rumah, akan tetapi dengan memicu permasalahan baru, yaitu rentan dengan korupsi, untuk kepentingan dan menguntungkan pihak tertentu. Pada saat yang sama, rakyat yang memikul beban derita. Pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat selama ini beragam hingga 23 persen dari gaji yang diterima.
Islam adalah sistem kamilan dan syamilan (menyeluruh dan sempurna) dalam meriayah kebutuhan pokok rakyat. Negara yang menerapkan Islam berdiri tegak di atas landasan hukum syarak, bukan undang-undang buatan manusia. Alhukkam (pemerintah dalam Islam) memberi kebijakan dengan aturan halal dan haram. Islam memberlakukan zakat mal/harta bagi orang yang telah memiliki harta sesuai batas nisabnya yaitu senilai 85 gram emas dalam setahunnya.
Kemudian negara pun menjamin kesehatan bagi warganya. Para pejabat tinggi negara pun mendapat hak memiliki fasilitas dari negara namun tidak mendapat gaji, artinya pengabdiannya benar-benar sebagai pelayan masyarakat (kecuali pegawai administrasi akan mendapat ujrah). Ini dikarenakan semua amal perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Negara juga berkewajiban menjamin tempat tinggal bagi warganya, bumi daulah sangatlah luas jika aturan Islam diterapkan di muka bumi ini, tidak akan tersekat oleh nasionalisme. Adapun dana diperoleh dari pengaturan SDA (harta kepemilikan negara dan umum) zakat, ghanimah, fai, kharajiyah, jizyah dan lain-lain. Sistem sahih inilah menjadikan pemimpin yang melarang menipu rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasul saw., “Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyatnya, sedangkan dia dala keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hanimatul Umah
(Muslimah Bekasi)