
Oleh: Susi Ummu Umar
Linimasanews.id—Media sosial sedang ramai menyuarakan gerakan “All Eyes on Papua”, sebuah seruan untuk mendukung suku Awyu dan Moi dalam mempertahankan hutan adat mereka karena dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia.
Gerakan tersebut ramai dari aplikasi X pada hari Jumat (31/5/2024) dan trending topic di Indonesia. Lalu, berlanjut di aplikasi Instagram lewat template poster AI yang juga ramai dibagikan warganet.
Didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Marga Woro dan Suku Awyu menggugat izin lingkungan kebun sawit PT Indo Asiana Lestari. Tidak hanya itu, muncul gerakan penandatangan petisi untuk mencabut Hutan seluas separuh Jakarta yang akan hilang.
Hutan tempat mereka hidup turun temurun, sumber penghidupan, pangan, budaya, dan sumber air mereka akan hilang. Dikutip dari RRI.co.id (3/6/2024), Hendrikus ‘Franky’ Woro, pemimpin Marga Woro bagian dari Suku Awyu bercerita upaya suku mereka memperjuangkan tanah yang dirampas. Mereka harus menempuh jarak jauh, rumit, dan mahal ke pengadilan Jayapura, Ibukota Provinsi Papua.
Sayangnya, setelah melalui proses tersebut pun, masyarakat adat Marga Woro dan Suku Awyu kalah gugatan di pengadilan. Saat ini kedua suku tersebut tengah terlibat gugatan hukum di MA dan MK melawan pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka.
Jika ditilik, hutan di Tanah Papua penting untuk diselamatkan dari ekspansi sawit. Ini dikarenakan Papua dan Papua Barat termasuk provinsi yang memiliki tutupan hutan dalam perkebunan sawit terluas di Indonesia. Di Papua, terdapat 1,3 juta hektare dan Papua Barat memiliki 404 ribu hektare tutupan hutan dalam perkebunan sawit.
Di sisi lain, izin perkebunan kelapa sawit pun mengalami peningkatan pesat. Mestinya, moratorium sawit bisa menahan laju pemberian izin tersebut sehingga menyelamatkan kawasan hutan. Sebab, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 3.056 peristiwa bencana alam di Indonesia selama periode 1 Januari—3 Oktober 2023.
Sementara itu, Walhi mencatat, dalam delapan tahun terakhir (2015—2021) intensitas kejadian bencana terus meningkat yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Bencana ini terjadi karena hilangnya fungsi ekologi hutan akibat deforestasi. Masifnya deforestasi karena banyaknya hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan perkebunan dan area konsesi tambang.
Bencana yang mengakibatkan penderitaan jutaan orang ini adalah bentuk telah terampasnya ruang hidup masyarakat. Masifnya perizinan pembukaan hutan tersebut adalah bukti pemerintah berpihak pada kepentingan pemodal. Bahkan, bisa diduga telah dikendalikan oleh kepentingan segelintir pengusaha untuk melahirkan kebijakan yang memudahkan bisnis mereka.
Dalam sebuah karya jurnalistik investigatif Project Multatuly berjudul “Menguliti Oligarki Batu Bara Indonesia”, begitu benderang betapa bisnis batu bara segelintir pengusaha telah banyak diberi fasilitas kemudahan oleh pemerintah. Para pengusaha ini adalah orang-orang yang juga ada di pemerintahan.
Hubungan antara penguasa dan segelintir pengusaha yang demikian akhirnya bisa melahirkan politik oligarki. Maka dari itu, rakyat butuh kepemimpinan yang bisa melindungi tanah sekaligus ruang hidup mereka dari bahaya yang datang. Salah satunya, hilangnya daya dukung lingkungan ekologi akibat kerusakan hutan. Dalam hal ini, Islam menawarkan konsep bernegara dengan kepemimpinannya yang berfungsi sebagai pelindung.
Khilafah adalah Junnah
Adanya proses pemilihan pemimpin yang mahal dalam demokrasi, terbuka jalan bagi para pemodal untuk menjadi penyandang dana pemilu dengan imbalan kemudahan bisnis mereka jika calon yang didukung menang. Sistem “ijon politik” yang subur berkembang ini melahirkan politik oligarki yang tidak memihak rakyat. Akhirnya, kekuasaan dijalankan sesuai dengan kepentingan bisnis segelintir pemodal.
Kepemimpinan dalam Islam jauh dari fakta kepemimpinan dalam demokrasi ini. Kekuasaan di dalam Islam adalah untuk menjalankan syariat sesuai Al-Qur’an dan sunnah. Syariat Islam mewajibkan seorang pemimpin menjadi pelindung (junnah) bagi rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya ia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga yang akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Perlindungan Melalui Mitigasi Bencana
Kepemimpinan Islam sebagai pelindung akan terlihat dari arah kebijakan dalam mengurus politik luar negeri maupun dalam negeri. Dalam konteks melindungi rakyat dari potensi bencana, maka pemimpin negara (khalifah) wajib berpegang pada ketentuan syariat sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR Ibnu Majah)
Bahaya ekologi akibat kerusakan alam mengharuskan ada kebijakan mitigasi yang terkait dengan konservasi (penjagaan hutan). Secara alamiah, hutan punya fungsi menyerap air, mengeluarkan oksigen dalam jumlah besar, dan menahan tanah. Oleh karena itu, negara harus memiliki program konservasi alam, khususnya hutan. Ini karena beberapa ayat di Al-Qur’an dan hadis mengandung anjuran tentang pentingnya merawat alam yang telah diberikan Sang Pencipta.
Ada ganjaran yang akan menimpa manusia jika lalai dalam melestarikan alam. Allah berfirman dalam QS Ar-Rum: 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Dalam pelestarian lingkungan, Islam sudah lama mengenal konservasi yang disebut sebagai “hima”. Nabi Muhammad saw. pernah menyebutkan tentang hima sebagai tempat yang menyenangkan. Pada masanya, tempat ini adalah padang rumput yang tidak boleh seorang pun menjadikannya sebagai tempat menggembala ternak.
Nabi Muhammad saw. bahkan menunjuk beberapa tempat yang dijadikan sebagai hima di dekat Madinah. Peneliti bidang kajian Islam, Syauqi Abu Khalil dalam Atlas Hadits menyebutkan bahwa di lokasi hima diterapkan, ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Bahkan, manusia dilarang memanfaatkannya selain kepentingan bersama.
Peneliti Malaysia, Abdul Basir Mohamad, dalam suatu makalah di Asian Journal of Environment, History, and Heritage yang terbit pada 2018, mengungkapkan bahwa konsep dan amalan hima sudah dikenal oleh masyarakat Arab pra-Islam. Kemudian, Nabi Muhammad saw. memperbaiki konsepnya.[3]
Nabi saw. menyebut dalam hadisnya, “Tidak ada hima dibenarkan, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.” Abdul berpendapat, hadis ini masih menjelaskan bahwa hima sebagai konservasi, masih punya konsep yang sama, yakni suatu lingkungan alam tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan perseorangan.
“(Hima) tanah milik umum untuk kepentingan nasional harus dikukuhkan dan disebut sebagai milik umum,” Abdul berpendapat. “Hal ini untuk memastikan bahwa kawasan penting tetap terjaga dan lingkungan sekitarnya terlindungi, sekaligus menjamin keseimbangan dan keharmonisan kehidupan manusia dan habitat lainnya.”
Jadi, keberadaan hutan yang luas—sebagaimana ada di Indonesia—harus dijaga melalui kebijakan konservasi. Haram untuk sembarangan menyerahkan pengelolaannya kepada individu tertentu dengan alasan apa pun.