
Oleh: Carminih, S.E. (MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
Linimasanews.id—Bola panas kembali menggelinding. Polemik perubahan aturan terkait batas usia calon kepala daerah, mencuat. Sebagaimana diketahui publik, Mahkamah Agung (MA) telah mencabut Peraturan KPU tentang batas usia calon kepala daerah.
Hal tersebut menuai kritik dari Peniliti ICW (Indonesia Corruption Watch), Seira Tamara. Dia menyampaikan bahwa pertimbangan dan amar putusan MA ini bermasalah. ICW pun menduga putusan tersebut demi memuluskan jalan Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi menuju Pilkada pada November 2024 mendatang. Sebagai catatan, Kaesang akan berusia genap 30 tahun pada Desember 2024 (okezone.com, 02-06-2004).
Politik dinasti dalam demokrasi kerap terjadi. Karena, sistem ini sarat dengan kepentingan pribadi. Politik dinasti bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan dengan mendorong anak keturunannya menjadi pejabat. Dengan demikian, kekuasaan pemerintah tetap bisa dipertahankan.
Secara alami, rakyat biasa yang memiliki kesadaran politik rendah akan memilih orang yang familiar, figur atau sosok dari keluarga orang terkenal. Maka, pemimpin baru akan mudah terpilih tanpa mengedepankan kualitas dan kapabilitas dalam memimpin.
Demokrasi digadang-gadang sebagai sistem politik yang sempurna. Dalam demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat pula yang memilih pemimpinnya. Jargon ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ menjadi andalannya.
Namun faktanya, jargon ini hanya teori. Pada kenyataannya, aspirasi rakyat dibutuhkan saat pemilu saja untuk diambil suaranya. Sementara dalam kebijakan lainnya, suara rakyat tidak dibutuhkan. Malahan, tampak menonjol aksi para pengusaha bermodal besar yang bekerja sama dengan penguasa.
Maka, ruh dari sistem ini sejatinya adalah ideologi kapitalisme. Para kapital inilah yang sebenarnya memiliki kebijakan. Mereka mengambil keputusan yang menguntungkan pihaknya. Sedangkan, pemerintah yang bertindak sebagai penguasa melegakan kebijakan untuk balas jasa yang diterima saat pemilihan. Jadi, sama-sama saling menguntungkan.
Hal ini sangat berbahaya dalam perpolitikan negara. Apalagi, dalam politik dinasti, selain kekuasaan hanya beredar di sekitar keluarga sendiri sehingga menutup peluang buat yang lain untuk menjabat, juga marak terjadi korupsi.
Inilah potret buram yang terjadi saat ini. Pada dasarnya, politik dinasti dalam demokrasi muncul karena kepentingan politik agar tetap berkuasa. Juga berawal dari asas sekularisme (paham yang memisahkan agama dari kehidupan) sebagai rahim yang melahirkan demokrasi itu sendiri.
Menurut paham ini, aturan dibuat sendiri mengandalkan akal manusia, sehingga tidak ada ruang pembahasan bagi halal dan haram menurut pandangan Allah Swt. Padahal, hakikat manusia, termasuk akalnya, penuh dengan keterbatasan dan kelemahan. Lalu, ‘dipaksa’ membuat hukum sendiri. Tak ayal, muncul polemik, kegaduhan, pertentangan, perdebatan, bahkan kezaliman dan penderitaan yang tidak berkesudahan.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem demokrasi yang penuh dengan tipu daya ini. Lalu, kita terapkan sistem Ilahi Rabbi untuk mengatur kehidupan kita. Yakni, sistem Islam dalam bingkai pemerintahan. Di dalam sistem Islam, kepala negara diangkat dengan jalan baiat. Baiat sendiri merupakan metode dalam memilih kepala negara, yang disetujui oleh seluruh kaum muslim.
Sedangkan dalam pemilihan kepala daerah seperti wali atau amil, dilakukan secara langsung oleh kepala negara. Kepala negara memilih orang-orang yang betul-betul memenuhi syarat sebagai kepala daerah. Tentunya, selain bertakwa dan amanah, juga harus memiliki kapabilitas sebagai pemimpin.
Selain itu, pemilihannya tanpa biaya yang mahal layaknya pesta demokrasi. Pada umumnya, orang-orang yang terpilih tidak memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan kepala negara. Walaupun hal ini pernah terjadi di masa kepemimpinan Muawiyah. Pada saat itu dia menunjuk putranya Yazid bin muawiyah sebagai penggantinya kelak. Namun, setelah wafatnya Muawiyah, Yazid dibaiat oleh kaum muslim karena dia layak menjadi Amirul Mukminin.
Kelayakan menjadi faktor yang amat penting. Rasul bersabda, “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanah itu?” Nabi saw. menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari)
Bahkan, dahulu Rasul saw., pernah menolak saat seorang sahabat kesayangan meminta kekuasaan. Sebab, Rasul memahami bahwa tak sembarang orang mampu memegang amanah kepemimpinan. Dikisahkan pada suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahu Abu Dzar dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah. Dan sesungguhnya hal ini adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).