
Oleh: Uswatun Khasanah (Muslimah Brebes)
Linimasanews.id—Saat ini, terdapat 1.651 perempuan menikah yang secara sah berhak menyandang status janda baru di Kabupaten Brebes. Hal itu diketahui dari angka resmi Inkuisisi Kabupaten Brebus pada Januari hingga Mei 2024 atau lima bulan terakhir.
Dari jumlah tersebut, status janda baru didominasi oleh kasus perceraian. Data Inkuisisi Kabupaten Brebes, sepanjang Januari hingga Mei, total perkara perceraian yang disidangkan sebanyak 2.003 kasus. Rinciannya, perceraian talak sebanyak 407 kasus dan gugat cerai sebanyak 1.596 kasus.
Terdapat 104 kasus perceraian talak dan 363 kasus cerai gugat pada bulan Januari. Terdapat 72 perkara talak dan 269 perkara cerai gugat pada bulan Februari. Tercatat ada 65 kasus perceraian di talak dan 189 kasus cerai gugat di bulan Maret. Kemudian, pada bulan April terdapat 63 kasus talak dan 362 kasus cerai gugat. Pada bulan Mei, terdapat 63 kasus perceraian di talak dan 413 kasus perceraian yang digugat.
“Untuk perkara cerai yang sudah diputus atau inkrah totalnya 1.651 putusan, meliputi 315 putusan cerai talak dan 1.336 putusan cerai gugat,” diungkapkan oleh Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Brebes Udin Najmudin melalui Panitera Jamali (smpanutara.news, 9/6/2024).
Untuk mengurangi pengajuan perkara perceraian, diperlukan kerjasama antarlembaga. Badan Penasihatan dan Pelestarian Perkawinan berada di garis depan dalam membimbing, mengembangkan dan melindungi keluarga muslim di seluruh Indonesia. Jumlah kasus yang terus meningkat ini patut didiskusikan. Mengapa perceraian menjadi lebih umum? Mengapa masalah keuangan dan pendidikan menjadi faktor utama dalam kasus perceraian?
Kasus perceraian sebenarnya merupakan permasalahan sosial dan tidak terlepas dari kenyataan yang terjadi di masyarakat. Artinya persoalan perceraian tidak bisa lepas dari nilai-nilai dan prinsip hidup yang ada di masyarakat. Prinsip ini lahir dari sistem kehidupan yang mempengaruhi cara pandang masyarakat, termasuk pandangannya terhadap keluarga. Prinsip hidup ini juga menciptakan suasana yang mendukung kelanggengan sebuah pernikahan.
Besarnya dampak terhadap sistem perkawinan saat ini tidak terlepas dari sistem kapitalis sekuler yang merajalela di masyarakat. Sistem ini, telah melahirkan serangkaian pemikiran yang mempengaruhi pola pikir pasangan suami istri, salah satunya melalui ideologi feminisme yang kerap memposisikan perempuan sebagai pihak yang tertindas. Alhasil, sensibilitas feminis yang sering digembar-gemborkan muncul dan menjadi etos berbagai peraturan.
Menariknya, permasalahan ekonomi yang timbul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis tidak bisa lepas dari analisis feminis. Alih-alih mengkaji akar penyebab kemiskinan, mereka malah sibuk mempertanyakan kesenjangan gender yang terjadi di dunia kerja. Sambungannya ke mana?
Sementara itu, jika ditelusuri akar permasalahannya, permasalahan mendasarnya terletak pada penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan kesenjangan yang sangat besar antara si kaya dan si miskin. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang berdampak pada kemiskinan sosial.
Demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perempuan terpaksa meninggalkan rumah dan bekerja keras demi mempertahankan perekonomian keluarga. Tentu saja, tempat kerja yang tidak bersahabat dan sistem sosial yang rentan terhadap godaan berkontribusi terhadap kerapuhan keluarga. Perselingkuhan sepertinya menjadi drama sehari-hari yang diberitakan media. Pada saat yang sama, industri gaya hidup terus merambah ke institusi rumah tangga, mengubah pemahaman tentang apa yang dibutuhkan keluarga.
Konsumerisme juga terus berkembang. Tuntutan gaya hidup seringkali membuat perempuan kelaparan, padahal pendapatan suaminya pas-pasan. Akibatnya, pertengkaran menjadi hal yang lumrah. Parahnya, gagasan kesetaraan gender rupanya semakin memicu gejolak keluarga.
Pada akhirnya, kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu cara untuk mengeksploitasi kerentanan perempuan hingga gagasan kesetaraan gender menemukan celah. Layaknya pahlawan, para feminis percaya bahwa kekerasan dalam rumah tangga berkembang pesat karena perempuan tidak memiliki kemandirian finansial. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa solusi ideal adalah melalui pemberdayaan, meskipun akar permasalahannya rumit, dan bukan karena kurangnya kesetaraan.
Di sisi lain, hubungan sosial yang liberal, ditambah dengan kondisi keluarga yang semakin tidak harmonis, mendorong para suami untuk melakukan hubungan yang melanggar hukum syariah. Lemahnya pemahaman pada tahap awal berkeluarga sering kali menyebabkan pasangan tidak mengetahui cara berkeluarga.
Memulai sebuah keluarga sebenarnya adalah bagian dari syariat. Untuk itu, Allah telah membuat banyak hukum agar keluarga selalu berada dalam bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah mewajibkan laki-laki menjadi pemimpin (qawwam) dan perempuan menjadi ummu wa rabbatul bayt.
Baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban untuk memahami akibat dari amanah Allah terhadap mereka masing-masing. Jangan terburu-buru menuntut hak, karena kewajiban kedua belah pihak sudah saling dipahami. Sebab, melalaikan kewajiban berarti tidak menaati hukum syariah.
Pada saat yang sama, negara memainkan peran penting dalam mempersiapkan warganya untuk menikah. Jika ketakutan saat ini adalah kurangnya pengetahuan, maka pada masa Khilafah Islam, negara akan aktif mempromosikan pendidikan pernikahan. Hal tersebut tentunya mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan aspek keluarga, seperti menjalin hubungan suami istri, pola asuh orang tua, pemenuhan gizi keluarga, keuangan keluarga, dan lain-lain.
Islam sangat memahami pentingnya peran keluarga dalam menjamin keberlangsungan peradaban. Karena setiap keluarga mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan bangsa, negara, bahkan peradaban manusia. Permasalahan yang terjadi saat ini sangatlah kompleks karena keberadaan sistem kehidupan yang terus berlanjut. Keluarga menghadapi sistem sosial yang kacau, sistem ekonomi yang tidak manusiawi, dan sistem hukum yang berdasarkan nilai-nilai liberal. Sistem politik juga didasarkan pada akal manusia, dan ketentuan syariah mengenai perkawinan dan keluarga hanya bersifat sepihak.
Jadi, selama ide-ide kapitalisme sekuler ini masih bertahan, institusi perkawinan akan terus menghadapi tantangan. Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan institusi keluarga kecuali dengan kembali kepada hukum-Nya dalam wujud secara menyeluruh. Wallahu a’lam.