
Oleh: Arifah Azkia N.H., S.E.
Linimasanews.id—Aturan Impor kembali menjadi perbincangan setelah dirombak dengan berbagai kebijakan, kini barang elektronik hingga tas dapat relaksasi setelah Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, sebagai revisi dari Permendag No. 36/2023. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Budi Santoso menyampaikan, terdapat sejumlah kebijakan yang telah ditetapkan dalam regulasi tersebut. Di antaranya, relaksasi perizinan impor terhadap 7 komoditas barang di Permendag No. 36/2023 jo. Permendag No. 7/2024 yakni elektronik, obat tradisional dan suplemen kesehatan, kosmetik dan perbekalan rumah tangga, alas kaki, pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi, tas, dan katup.
Adapun pengaturannya adalah tidak diperlukan pertimbangan teknis atau pertek dari Kementerian Perindustrian dengan pengaturan pengawasan tetap di border kecuali untuk HS tertentu. Selain itu, pemerintah mengembalikan peraturan persetujuan impor (PI) barang komplementer, barang untuk keperluan tes pasar, dan pelayanan purna jual tanpa memerlukan pertek lagi dari Kemenperin (Ekonomi.bisnis.com, 19/5/2024).
Hal ini tentu akan mengakibatkan meluapnya barang impor yang masuk dengan mudahnya dan berakibat mematikan produk dan usaha rakyat dalam negeri. Alih-alih menjadi solusi, malah bisa menjadi masalah baru akibat pasar bebas dari aturan impor. Pedagang kecil akan semakin susah dan tergerus dengan teknologi serta kalah saing dengan produk luar negeri yang lebih inovatif dan dianggap lebih trendi.
Menurut data Asosiasi Pertekstilan Indonesia impor pakaian jadi dari negara Cina menguasai 80% pasar di Indonesia. Di tahun 2021, impor pakaian jadi dari Cina 64.660 ton. Apalagi jika saat ini diberlakukannya relaksasi impor. RIPH dan PI tak dibutuhkan lagi. Dampaknya siapa pun bisa dengan mudah dan leluasanya melakukan impor dan menguasai perekonomian Indonesia.
Hal ini seolah menjadi solusi tambal sulam dengan harapan pemerintah yang ingin mengurangi antrean kontainer di pelabuhan. Dampak negatifnya jauh lebih besar dibanding maslahatnya. Begitulah sosok pemimpin ala kapitalisme, tidak berusaha supaya Indonesia terbebas dari jerat impor, malah memasukkan Indonesia lebih dalam di jurang kegelapan. Mereka berusaha untuk menyenangkan tuannya yang telah memberikan bantuan untuk mendapatkan kursi, sehingga mereka menjadi fasilitator dalam memberikan kebijakan dan aturan yang memudahkan para kapital untuk menguras habis Indonesia.
Indonesia berada dalam jebakan ekonomi neoliberal, terikat dengan berbagai perjanjian internasional. Sehingga, sekecil apa pun kebijakan yang dibuat, semua berada dalam satu poros, yaitu aturan neoliberal yang mengharamkan adanya intervensi negara dalam ekonomi. Sedikit saja negara campur tangan, maka siap-siap akan mendapatkan hukuman yang telah diatur.
Seperti yang terjadi pada 2017 silam, Indonesia digugat oleh Brazil lewat WTO (World Trade Organization) karna kebijakan Indonesia menghambat impor unggas mereka, pada akhirnya unggas Brazil menjamur mematikan unggas lokal. Begitulah kejinya ideologi demokrasi kapitalis yang memperalat negara pengekor menjadi santapan empuk negara besar untuk memuaskan ambisinya.
Hal ini akan terus berulang selama Indonesia tidak mengganti sistem Kapitalisme yang fasad (rusak) ini dengan beralih mengadopsi sistem aturan yang berasal dari Sang Maha Pencipta, yaitu Ideologi Islam dalam bingkai Khilafah. Islam sangat melarang pasar bebas, namun menghalalkan perdagangan. Oleh sebab itu, perdagangan internasional tetap akan ada, namun akan sangat bertolak belakang dengan kapitalisme. Sebagaimana Abdullah bin Umar رَضِي اللَّهُ عَنْهُ berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda bahwa tidak boleh menjual untuk merusak penjualan kawannya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di dalam peraturan perekonomian Islam, perdagangan internasional akan dipilah mana negara yang bisa diajak kerjasama mana yang tidak. Negara yang jelas-jelas memusuhi Islam tidak akan diterima perjanjian apa pun seperti AS, Inggris, Prancis, dll. Negara yang tidak memusuhi islam diperbolehkan untuk melakukan kerjasama. Barang yang diperdagangkan pun juga akan diatur tidak boleh barang yang haram, harus jelas kehalalannya.
Selain itu, ketika melakukan perdagangan memang harus dipastikan bahwa kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi jika ingin melakukan ekspor. Ketika ingin melakukan impor, memang harus benar-benar di dalam negeri sangat membutuhkan. Barang yang diekspor pun juga bukan komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan negara. Ketika kondisi yang mengharuskan ada impor juga tidak berlebihan sehingga mematikan perekonomian negara. Wallahu a’lam bissowab.