
Oleh: Elfia Prihastuti, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
Linimasanews.id—Seorang anak adalah benih generasi suatu bangsa di masa depan. Namun, maraknya pelecehan terhadap anak beberapa waktu terakhir, menciptakan trauma panjang bagi para calon tonggak penerus peradaban ini. Anak-anak tumbuh dalam bayangan kelam masa lalu. Sungguh miris, saat ini pelecehan seksual pada anak tidak hanya dilakukan seorang bapak kepada anaknya, paman terhadap keponakannya atau kakak kepada adiknya, melainkan juga dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya.
Dua video vulgar yang diperankan oleh ibu muda bersama anak kandungnya hangat menjadi pembicaraan di medsos beberapa waktu terakhir. Kedua ibu tersebut berinisial AK (26) dan R (22). Pengakuan mereka terhadap polisi mereka nekat karena tergiur iming-iming akan diberikan sejumlah uang oleh teman facebook atas nama Icha Shakila (Liputan6, 9/6/2024).
Sungguh di luar nalar, seorang ibu yang seharusnya menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, ternyata tega melakukan hal yang merusak tumbuh kembang anak. Seorang psikologi anak, Novita Tandry memberi peringatan bahwa terdapat bahaya laten yang membuat anak korban pelecehan menjadi terancam.
Novita menegaskan bahwa otak manusia di usia 0-6 tahun berada dalam masa penyerapan. Seluruh panca indera menyerap informasi kemudian disimpan di otak. Hal- hal yang telah bersemayam di kepala akan bangkit kembali saat usia remaja (Kompas.com, 8/6/2024).
Ketika masih berumur 0-6, yang dirasakan anak adalah ketidaknyamanan dan rasa sakit. Hal ini berbeda ketika anak beranjak remaja ketika anak sudah mempunyai libido, maka iya akan merasakan kenyamanan. Jika anak dibiarkan tanpa informasi yang benar, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada mentalitas anak.
Menelusuri Motif
Iming-iming sejumlah uang (ekonomi) menjadi motif utama, sehingga kedua ibu muda tersebut nekat melakukan perbuatan asusila terhadap anak kandungnya. Sementara bagi orang yang menyuruh si ibu, entah setan apa yang merasukinya. Sehingga rela menebar ancaman, demi sebuah aktivitas tak bermoral tersebut. Situasi ini menggambarkan, begitu buruk tekanan ekonomi yang dihadapi sehingga harus melakukan perbuatan bejat terhadap anak kandung sendiri. Fakta yang ada juga sekaligus mengkonfirmasi akidah yang dimiliki oleh pelaku begitu tipis. Bahkan mungkin akidahnya sudah ditanggalkan dari kehidupannya.
Sejatinya, kenyataan-kenyataan memilukan akibat lemahnya keimanan kerap terjadi. Motif ekonomi sering kali menjadi motif utama. Dorongan untuk pemenuhan kebutuhan hidup menjadi dalih cukup kuat untuk melakukan perbuatan amoral. Tentu hal ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran yang bersemayam di kepala manusia. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran sekuler menjadi landasannya.
Tindak Asusila Buah dari Kapitalisme Sekularisme
Baik buruknya masyarakat, salah satu yang menjadi penentunya adalah aturan yang diterapkan negara di mana masyarakat itu tinggal. Maka sangatlah wajar jika masyarakat di negeri ini terpapar pemikiran sekuler. Sebab, pemikiran tersebut diemban oleh penguasa negeri ini. Meski mayoritas penduduk negeri ini muslim, namun aturan yang diterapkan adalah kapitalisme sekularisme.
Sistem kapitalisme sekuler tidak menjadikan agama sebagai landasan penerapan hukum. Agama hanya berlaku dalam ranah manifestasi spiritual semata. Dalam sistem ini, tidak ditemui pemimpin bervisi akhirat, yaitu bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak di Yaumil Hisab.
Itulah sebabnya, jeritan-jeritan rakyat akibat tekanan ekonomi yang menghimpit tak dapat didengar dan dirasa. Tak ada inisiatif bagaimana memenuhi hak-hak rakyat untuk sejahtera. Program-program peningkatan kesejahteraan rakyat terkesan ala kadarnya. Tidak sepenuh hati. Sehingga rakyat harus berusaha sendiri memecahkan problem ekonomi dengan cara menabrak rambu-rambu yang ada.
Sementara di sisi lain, keterlibatan dunia pendidikan sebagai pembentuk kepribadian yang baik sangat minim. Pendidikan tidak mengambil peran dalam proses pembentukan karakter masyarakat. Semua bermuara pada satu hal yakni pencapaian materi. Dengan karakter sistem yang demikian maka menjadi wajar saat masyarakat berperilaku amoral demi pencapaian materi. Seperti perbuatan tak senonoh yang dilakukan kedua ibu terhadap anak kandungnya tersebut.
Ternyata sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan negeri ini, menjadikan fitrah ibu menghilang. Anak-anak mendapat berbagai ancaman dalam proses pertumbuhan. Tanpa perlindungan dari negara. Kebebasan kadang juga alasan pembiaran atas berbagai kasus. Saat dilakukan proses hukum sanksi yang dijatuhkan pun tidak tegas dan memberikan efek jera. Sehingga kasus-kasus serupa terus berulang.
Pemecahan Islam
Islam selalu solutif dalam memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Sebab pemecahannya merupakan pemecahan integral dan komprehensif. Dalam penerapan aturan, sistem Islam mempunyai tiga pilar penyangga. Ketiga pilar tersebut adalah negara, masyarakat, individu atau keluarga.
Anak-anak merupakan aset negara di masa depan. Maka upaya perlindungan dan menjadi benteng bagi penerus peradaban harus dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan dan kejahatan pada anak hal-hal yang dilakukan negara secara sistemis.
Pertama, menjamin terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Dalam banyak kasus kejahatan termasuk kasus kekerasan seksual pada anak, ekonomi sering menjadi motiv utama. Begitu pula peran ibu sebagai pencetak generasi unggul tergerus oleh kesibukan memenuhi hidup yang jauh dari mencukupi. Terpaksa ibu harus ikut pontang panting demi tercukupiinya kebutuhan.
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Minimal kebutuhan pokok. Mekanismenya melalui penyediaan lapangan kerja bagi para kepala keluarga. Sehingga para ibu dapat fokus dalam mendidik anak-anaknya tanpa terbebani dengan masalah ekonomi.
Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam. Landasan penerapan pendidikan Islam adalah akidah Islam. Dengan demikian, pendidikan Islam akan mengambil peran sebagai pembentuk kepribadian sehingga menjadi manusia yang senantiasa bertakwa. Maka setiap individu yang terdidik dengan pendidikan Islam akan selalu bertakwa kepada Allah dan menghindari segala perbuatan maksiat yang larang oleh-Nya.
Ketiga, penjagaan konten-konten yang merusak perilaku. Negara mempunyai peran dominan dalam memfilter tantangan-tantangan unfaedah dan merusak. Media sosial dalam Islam berisi penguatan terhadap akidah dan menciptakan ruh untuk senantiasa berada dalam ketakwaan. Sementara hal-hal yang dapat berpengaruh buruk akan dilarang oleh negara.
Keempat, pemberian sanksi yang tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Hal ini juga merupakan upaya mencegah agar yang lain tidak ikut-ikutan melakukan perbuatan tersebut.
Ketika hukum Islam diterapkan dalam naungan negara Khilafah akan senantiasa membawa kebaikan bagi seluruh manusia. Sebab, Islam adalah aturan yang diturunkan Allah sebagai “rahmatan lil alamin.” Wallahu a’lam bissawab.