
Oleh: Nining Ummu Hanif
Linimasanews.id—Masifnya bagi-bagi jabatan komisaris dan direksi anak usaha BUMN kepada para pendukung presiden dan wakil presiden terpilih serta kerabatnya, belakangan menjadi sorotan publik. Tak hanya anggota Tim Kampanye Nasional (TKN), jabatan komisaris BUMN juga diberikan kepada para petinggi partai-partai politik pendukung pasangan presiden dan wakil presiden terpilih tersebut.
Transaksi politik tersebut sangat vulgar dipertontonkan. Sebut saja Prabu Revolusi diangkat menjadi Komisaris Independen PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Grace Natalie dan Fuad Bawazier yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama MIND ID, Tsamara Amany Alatas menjadi komisaris independen di induk BUMN perkebunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan masih banyak nama- nama lainnya (bbcnews.com, 14/6/24).
Politik transaksional terjadi ketika dalam menjalankan praktik politik didasarkan pada konsep transaksi, yaitu ada yang memberi dan menerima. Kuncinya adalah, orang yang menerima pasti akan berusaha untuk membalas orang yang telah memberi. Dalam dunia politik, balasan ini bisa terjadi dalam berbagai bentuk diantaranya mahar politik, serangan fajar dan dana kampanye.
Transaksi politik memang bukan fenomena baru dalam politik Indonesia. Namun, dalam pemilu 2024, kecenderungan ini tampak semakin menonjol dan terorganisir. Partai politik dan calon-calonnya terlibat dalam transaksi yang melibatkan uang, jabatan, dan janji-janji politik untuk mendapatkan dukungan.
Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko berpendapat, “Konflik kepentingannya nampak jelas. Bukan faktor profesionalitas, bukan faktor kompetensi yang dikedepankan, tetapi lebih pada faktor kedekatan. Ini sungguh sangat miris karena kita tahu BUMN hari ini menjadi salah satu entitas badan usaha yang perlu.”
Sementara itu Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan fenomena “balas budi” (merit sistem) terhadap partai politik atau aktor di parpol yang memberi dukungan kemenangan sudah lama terjadi, terutama pasca pemilu. Menurutnya, jika BUMN ingin dikelola dengan profesional dan baik, harus dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kualifikasi. Komisaris BUMN harus memiliki kompetensi dan integritas. Sebab, tugas utama komisaris adalah mengawasi dan memberikan nasihat mengenai jalannya perusahaan (VOA,15/6/24).
Dampak Negatif
Politik transaksional yang terjadi dalam sebuah negara sangatlah berbahaya karena akan menyebabkan seluruh kebijakan yang dibuat didasarkan pada kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini merupakan keniscayaan dalam demokrasi dari sistem kapitalisme yang mengutamakan nilai manfaat dan materi yang akan didapat. Kerjasama politik juga dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dan imbalan yang hendak didapat. Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan politik transaksional ini antara lain:
Pertama, yang terpilih bukanlah mereka yang paling kompeten, melainkan yang paling royal menggelontorkan uang. Akibatnya, kualitas representasi rakyat di lembaga legislatif menjadi dipertanyakan, karena tidak berbasis pada kemampuan atau visi, melainkan pada kedalaman kantong.
Kedua, menciptakan iklim korupsi. Para legislatif yang terpilih melalui cara ini akan cenderung mencari cara untuk ‘mengembalikan modal’, yang tidak jarang berujung pada tindakan koruptif. Hal ini tidak hanya merugikan negara dari segi finansial, tetapi juga merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. Kerugian karena korupsi akan menjadi kerugian rakyat.
Politik transaksional bukan sekadar kebijakan yang lahir dari seorang pemimpin. Lebih dari itu, tapi merupakan tabiat sistem yang mengarahkan praktik politik mengikuti kepentingan tertentu. Dalam praktik politik, sekularisme demokrasi telah menciptakan politisi dan pemimpin yang menjalankan amanah dengan menghalalkan segala cara. Relasi rakyat dan penguasa hanya sebuah formalitas. Fenomena ini terjadi pada setiap pergantian penguasa.
Selain itu, pemerintah dalam regulasinya tidak memasukkan aspek kompetensi dan kapabilitas untuk profesionalitas jabatan jadi memungkinkan diisi oleh oknum- oknum yang tidak memenuhi spesifikasi. Kita tentu tidak menginginkan kerusakan politik ini berlanjut. Oleh karena itu, menghadirkan wacana alternatif yang lebih shahih adalah sebuah keharusan.
Perspektif Islam
Kekuasaan menurut Islam adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Dengan sendirinya, pelaksanaan wewenang kekuasaan harus merujuk pada syariat.Rasulullah saw. bersabda, “kekuasaan adalah amanah. Ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR. Muslim)
Islam telah menempatkan tanggung jawab moral yang sangat besar pada pemimpin. Maka dari itu, diharapkan pemimpin memiliki sifat yang terpuji serta bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaannya dengan bijaksana saat melayani kepentingan rakyat.
Kemaslahatan rakyat adalah tujuan utama pelaksanaan syariat. Ketaatan penguasa dalam menerapkan syariat, diiringi keimanan dalam mengemban amanah kekuasaan menjadikan mereka sosok pemimpin yang takut merumuskan kebijakan yang timpang.
Oleh karena itu, menentukan pejabat dan penguasa dalam Islam harus memiliki kapabilitas agar dapat menjalankan tugasnya secara optimal. Islam adalah ideologi. Islam memiliki sejumlah konsepsi politik dalam rangka mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kekuasaan itu diamanahkan pada seorang pemimpin. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, “Al-Iqhisad fi Al-I’tiqad,” menyatakan, “Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak memiliki fondasi akan roboh. Demikian juga, segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga pasti akan musnah.” Inilah relasi antara agama dan kekuasaan. Wallahu a’lam bishawab.