
Oleh: Eki Efrilia
Linimasanews.id—Saat ini, Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, setelah India, China dan Amerika Serikat, dengan jumlah total penduduk 279.390.258 jiwa (Kompas.com, 25/4/2024). Jumlah penduduk yang besar ini selain sebetulnya merupakan aset berharga bagi negara, juga merupakan sesuatu yang membutuhkan perhatian besar untuk kesejahteraannya. Paling tidak, kebutuhan primer yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi.
Sayangnya, ternyata untuk hal papan atau perumahan untuk rakyat, Indonesia masih mempunyai pekerjaan rumah (PR). Masih ada sekitar 12,7 juta Kepala Keluarga (KK) yang tidak mampu memiliki tempat tinggal karena tergolong dalam kategori rakyat miskin (CNBCIndonesia.com, 8/8/2023).
Tentu saja ini adalah hal yang miris, karena kebutuhan perumahan adalah hal pokok bagi sebuah keluarga. Sayangnya, sebagian besar penduduk Indonesia adalah golongan ekonomi menengah ke bawah, di mana daya beli ke arah penyediaan rumah layak sangatlah rendah. Sebagian dari mereka hanya mampu mencicil rumah dengan cara mengangsur pembayaran, ditambah bayang-bayang pembayaran cicilan dengan bunga tinggi yang membebani mereka selama jangka 15 sampai 20 tahun.
Tentu saja, hal ini sangat memberatkan sebagian orang. Akhirnya, banyak rakyat pasrah tidak memiliki rumah dan cukup dengan mengontrak rumah. Bahkan, sebagian besar hidup di rumah kos petakan yang sangat sempit dengan pembayaran bulanan yang cukup menguras kantong.
Hal di atas mengundang keprihatinan beberapa pihak, termasuk Kepala Negara yang pada tanggal 4 Mei 2017 meresmikan pembangunan rumah bersubsidi yang diharapkan berbiaya lebih ramah di kantong rakyat miskin. Perumahan bersubsidi tersebut bernama Villa Kencana Cikarang yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Negara menunjuk PT Arrayan Bekasi Development (SPS Group) sebagai kontraktor pembangunannya.
Perumahan seluas 105 hektar ini berencana akan dibangun rumah sebanyak 8.749 unit dengan tipe 25/60 per-unitnya. Sementara fakta lapangan, banyak rumah yang tidak berpenghuni. Dari 242 rumah yang telah berhasil dibangun, hanya 63 unit yang dihuni, selebihnya dibiarkan terbengkalai (Suara.com, 8/5/2024).
Dengan banyaknya rumah yang tak berpenghuni, membuat kawanan maling berani beraksi di wilayah tersebut. Rumah-rumah kosong di sana banyak yang tidak berkloset lagi karena disasar maling. Meteran listrik, meteran air, dan kabel-kabel juga hilang akibat tangan jahil para pencuri (Kompas.com, 20/6/2024).
Hal ini tentu saja sangat mengecewakan, karena subsidi yang telah diberikan untuk perumahan tersebut adalah hasil keringat rakyat, karena perolehan terbesar negara ini adalah didapat dari pajak yang wajib dibayar oleh rakyat. Ternyata dana rakyat tersebut terbuang sia-sia, karena tujuannya adalah untuk memberikan perumahan bagi rakyat miskin, tapi ternyata malah banyak yang tidak dihuni dan menjadi rusak.
Hal ini menunjukkan kurangnya pendalaman masalah terhadap hal ini. Apakah kepala keluarga yang mengajukan permintaan kepemilikan rumah tersebut benar-benar sangat membutuhkan rumah untuk dihuni ataukah hanya untuk aset saja? Apakah si pembeli rumah, wilayah usaha atau tempat bekerjanya ada di dekat perumahan tersebut atau ternyata jauh sekali antara tempat kerja dengan perumahan?
Kalau kondisinya ternyata rumah yang ia miliki tersebut hanya dijadikan aset alias tidak ditempati, juga ternyata dengan alasan jauh dari tempat kerja sehingga rumah tersebut akhirnya tidak ditempati, berarti negara sudah salah sasaran. Inilah ciri khas kapitalisme yaitu sistem yang mengedepankan kapital atau uang. Di mana pihak yang ‘maju’ dengan menyodorkan uang akan lebih didahulukan daripada pihak yang membutuhkan.
Bisa jadi banyak pihak yang betul-betul membutuhkan untuk tinggal di Villa Kencana Cikarang, tetapi karena mereka ‘kalah cepat’ dan tidak mempunyai uang untuk DP (down payment) alias uang muka rumah, maka mereka malah tidak bisa tinggal di perumahan tersebut. Sistem ekonomi kapitalisme yang merujuk kepada sistem ribawi, juga sangat membuat kerepotan para ‘pencari’ rumah. Sistem ribawi membuat harga rumah menjadi sangat tinggi, mengikuti fluktuasi bunga bank yang saat itu sedang berjalan. Harga rumah bisa menjadi dua kali lipat atau lebih dengan memakai sistem ribawi ini.
Di satu sisi, pengusaha dan pihak-pihak yang berkaitan dengan pengadaan perumahan tersebut diuntungkan dengan sistem ribawi ini. Sementara di sisi lain, rakyat makin merana karena harus membayar tinggi biaya kebutuhan papan dengan gaji bulanan yang tidak seberapa. Kondisi ini berbalik seratus delapan puluh derajat, Islam tidak mengenal sistem ribawi, bahkan mengharamkannya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Taala:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Dan firman-Nya pula:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba.” (QS Al-Baqarah: 278)
Islam memang mewajibkan negara untuk mencurahkan perhatian kepada seluruh rakyatnya, seperti dalam sabda nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam berikut:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».
“Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi, seorang khalifah (pemimpin pemerintahan Islam) juga diwajibkan menjaga rakyatnya ibarat seorang penggembala kepada gembalaannya. Ia juga harus memperhatikan apakah cara yang dilakukannya melanggar hukum Allah atau tidak. Kepemilikan rumah dengan cara ribawi, tentu saja itu adalah pelanggaran terhadap hukum Allah dan seorang pemimpin akan diazab Allah apabila ia menjerumuskan rakyatnya ke jurang kemaksiatan (pelanggaran hukum syarak).
Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam, “Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam itu terdapat lembah, dan di lembah itu terdapat sumur yang bernama Habhab. Allah pasti akan menempatkan setiap penguasa yang sewenang-wenang dan menentang kebenaran di dalamnya.” (HR. Ath-Thabrani, Al Hakim, dan Adz-Dzahabi)
Sungguh apa yang terjadi pada kasus di atas adalah akibat negara sewenang-wenang dengan aturan yang tidak memihak kepada rakyat sama sekali. Negara dalam sistem kapitalisme hanya menjadi regulator atau pelaksana saja tanpa bekerja sebagai pemimpin yang bertanggung jawab penuh kepada rakyat berdasar rasa takut, kelak akan azab Allah di Yaumil Akhir.
Aturan Islam tidak hanya diterapkan saat kita beribadah mahdhoh saja seperti salat fardhu, puasa Ramadhan dan lain-lain. Akan tetapi, Islam wajib diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dari hulu sampai hilir tanpa kecuali sedikit pun, mulai urusan ringan sampai berat (sistem ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintahan dan lain-lain) karena Islam berasal dari Allah, Al-Khalik dan Al-Muddabbir, Allah Sang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur seluruh urusan manusia. Wallahu a’lam bishshowwab.