
Oleh: Ummu Affaf
Linimasanews.id—Setiap tahun ajaran baru, setiap orang tua selalu dipusingkan dengan urusan sekolah anak-anaknya. Sekolah dengan jarak dekat diberi kelonggaran dengan adanya jalur zonasi, meskipun tidak mempunyai nilai cukup untuk mendaftar ke sekolah negeri favorit. Kebijakan tersebut mengakibatkan penurunan kualitas sekolah dan kualitas pelajar itu sendiri. Karena, pelajar tidak harus memikirkan besaran nilai untuk mendaftar ke sekolah negeri favorit. Pertanyaannya, apakah jalur zonasi aman, tidak ada kecurangan?
Pada kenyataannya, tidak semua sekolah jujur. Ada juga yang melakukan kecurangan. Salah satunya, Ombudsman Provinsi Sumatera Selatan yang menemukan 7 sekolah menengah atas (SMA) di Palembang diduga melakukan kecurangan (tempo.co, 18/6/2024).
Adanya kecurangan membuat Kementerian Pendidikan berbenah diri untuk penyelenggaraan PPDB ke depannya. Semua pihak diharapkan memiliki transparansi dalam melakukan semua hal terkait PPDB. Ini tentu memerlukan adanya sosialisasi masif kepada masyarakat terkait apa saja, termasuk semua dokumen dan syarat yang diperlukan untuk masuk pendaftaran PPDB.
Karena itu, penerapan kebijakan zonasi dalam rangka pemerataan pendidikan sepertinya perlu mendapat peninjauan kembali. Pasalnya, kebijakan ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru memunculkan problem baru. Masyarakat saling berkompetisi untuk mendapatkan sekolah yang diminati ini terjadi karena solusi yang diambil masih pragmatis.
Masalah pendidikan bukanlah sekadar muridnya, tetapi kompleks. Di antaranya, fasilitas pendidikan yang belum seimbang, seperti ketersediaan gedung, perpustakaan, hingga laboratorium. Sering kali ditemukan ada sekolah dengan bangunan megah dan fasilitas mewah, tetapi di sisi lain banyak sekolah minim fasilitas, bahkan belum memiliki bangunan sendiri.
Guru yang berkompeten pun sangat minim. Guru juga akhirnya disibukan dengan kelengkapan administrasi, sehingga peningkatan kompetensi ada, tetapi tidak merata. Selain itu, guru dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, nyatanya mendapat gaji pas-pasan. Akhirnya, terpaksa mencari kerja sampingan yang jelas menguras tenaga dan perhatian. Dampaknya, mereka tidak lagi sempat mempersiapkan pelajaran selanjutnya dengan maksimal.
Terlebih lagi, kurikulum saat ini bisa dikatakan mendidik anak sekolah sekadar mendapatkan ijazah yang nantinya dipakai untuk bekerja. Ilmunya bisa jadi menguap semua, anak berpikir bahwa sekolah hanya untuk mencari uang. Semua itu akhirnya membangun paradigma, “jika sudah bisa mencari uang, buat apa lagi harus capek- capek sekolah?”
Sebenarnya, masalah utama pendidikan hingga melahirkan bermacam-macam masalah cabang adalah penerapan pendidikan sekuler. Yakni, sistem pendidikan yang lahir dari asas pemisahan aturan agama dari pengaturan kehidupan manusia di dunia.
Tujuan pendidikan sekuler kapitalistik, mendorong semua elemen yang terlibat di dalamnya hanya berorientasi pada materi. Akibatnya, tidak menganggap masalah jika calon siswa bertindak curang dan melakukan suap, yang terpenting dapat masuk ke sekolah impian. Sementara itu, panitia yang menerima suap juga berpikir, “Tidak masalah, yang penting uang jadi bertambah”.
Penerapan sistem kapitalis juga membuat negara kalang-kabut menyediakan fasilitas pendidikan. Pembiayaan yang morat- marit membuat pendidikan tidak berjalan dengan baik. Jika orang tua ingin putra-putrinya bersekolah di sekolah berkualitas dan berprestasi, pilihannya justru ke sekolah swasta yang notabene berbiaya tinggi.
Sementara itu, Islam menetapkan pendidikan sebagai layanan publik yang menjadi hak setiap warga negara. Atas dasar itu, negara wajib memberikan pelayanan terbaik. Seperti, membangun semua fasilitas pendidikan, seperti gedung, perpustakaan dan laboratorium dengan layanan yang sama, di kota maupun di desa, semua akan mendapatkan fasilitas yang sama. Pembiayaan pembangunan berasal dari Baitul Mal yang pendapatannya berasal dari banyak sumber seperti jizyah, fai, kharaj, ghonimah, dan hasil pengelolaan SDA.
Negara juga mempersiapkan tenaga pengajar (guru) yang tidak hanya pandai dari sisi akademis, namun juga diwajibkan memiliki kepribadian Islam. Negara akan memberikan gaji yang memadai serta memberikan fasilitas kesehatan yang murah, bahkan gratis. Dengan begitu, para guru tidak lagi dipusingkan dengan berbagai pemenuhan kebutuhan. Gaji yang cukup serta didukung jaminan beberapa kebutuhan yang gratis, membuat guru lebih berkonsentrasi dalam menjalankan amanahnya.
Sistem pendidikan Islam bertujuan mencetak generasi berkepribadian Islam, generasi yang bercita-cita setelah lulus akan menggunakan ilmunya supaya bermanfaat bagi orang lain, siap membela agamanya kapan saja dibutuhkan. Bukan seperti hari ini, output pendidikannya melahirkan generasi stroberi yang tidak bisa apa- apa dan berorientasi hanya materi.
Sistem Islam sudah terbukti mampu melahirkan generasi terbaiknya dengan penerapan pendidikan sesuai tuntutan syarak. Jika kita menginginkan pendidikan berkualitas dan mencetak generasi terbaik, maka hanya sistem Islam jawabannya.