
Oleh: Riska Adeliana, S.Hum.
Linimasanews.id—Pelaksanaan ibadah haji telah berlalu. Akan tetapi, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini banyak menuai kritik. Banyak jamaah haji Indonesia yang protes atas pelayanan yang sangat buruk dan memprihatinkan. Ternyata, permasalah ini terjadi setiap tahunya. Mulai dari masalah kesehatan, migrasi, tenda, MCK dan lain-lainnya.
Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Muhaimin Iskandar mendapat aduan terkait penyelenggaraan haji tahun ini. Beberapa permasalahan di antaranya adalah AC yang tidak menyala, tenda yang over kapasitas, kurangnya kasur, jatah tempat per jemaah hanya 0,8 M hingga menyebabkan jamaah haji kesulitan tidur. Banyak dari jamaah haji yang memilih tidur di lorong-lorong.
Selain itu, ada keterlambatan bus menuju Arafah. Tenda haji juga sempit hingga membuat ruang gerak tidak lebih dari satu meter. Jelas, kondisi ini membuat banyak jamaah tidak kebagian tempat tidur di dalam tenda. Selain itu, kondisi toilet juga dikeluhkan karena membuat jamaah harus antre berjam-jam (Katadata, 18/6/2024).
Sementara itu, pada tahun 2023, terdapat permasalahan terkait akomodasi dan transportasi yang tidak dikelola dengan baik, sehingga banyak jemaah haji asal Indonesia yang terlantar di Muzdalifah hingga kesulitan mendapatkan makanan (cnnindonesia.com, 20/6/2024).
Jelas hal ini menjadi perhatian semua pihak karena fasilitas layanan haji yang disediakan tak sebanding dengan biaya besar yang sudah dikeluarkan oleh jamaah. Padahal, jamaah haji sudah antre bertahun-tahun, sudah membayar mahal, tetapi malahan tidak mendapatkan pelayanan yang bagus.
Karut-marutnya pelayanan haji tidak terlepas dari upaya komersialisasi pengurusan ibadah haji. Hal ini karena sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini.
Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji, Cucun Ahmad Syamsurijal (Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Haji kepada DPR untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait penyelenggaraan haji (Kompas.com, 14/6/2024). Akan tetapi, usulan ini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan jika paradigma pelayanan ibadah haji masih berbasis kapitalis.
Jika ingin permasalahan pelayanan haji yang buruk ini tidak terulang lagi, pemerintah harus melakukan perubahan yang menyeluruh, progresif, dan revolusioner. Di samping itu, pemerintah harus melakukan dialog dengan pemerintahan Arab Saudi secara komprehensif untuk peningkatan kualitas layanan haji.
Terlebih lagi, terkait adanya penambahan kuota haji sebanyak 20.000, dengan rincian 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk ONH plus. Padahal, menurut UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, harusnya jatah haji reguler 92% dan 8% untuk ONH plus.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (DPP AMPHURI), Firman Muhammad Nur meyakini bahwa penambahan kuota ini untuk mendukung visi Arab Saudi 2030 agar jamaah haji meningkat 5 juta orang dalam 6 tahun ke depan, tujuannya tidak lepas dari motif ekonomi. Ia menduga, pihak Arab perlu menambah kuota ONH plus agar dapat mengisi okupansi hotel-hotel bintang lima (VOA, 20/6/2024).
Beginilah realitas dalam sistem kapitalisme. Pelaksanaan ibadah haji tampak sekali dikomersialkan. Para pengusaha berlomba-lomba mendirikan hotel berbintang. Akibatnya, jika jamaah ingin mendapatkan fasilitas yang bagus dan dekat dengan Ka’bah, harus rela mengeluarkan uang lebih banyak.
Alhasil, penambahan kuota alih-alih solusi, malah melahirkan masalah baru, ditambah lagi melanggar aturan UU Haji dan Umrah. Sebab, separuh dari penambahan kuota dibuka untuk haji ONH plus. Artinya, hanya orang-orang yang punya banyak uang yang bisa berangkat lebih dahulu. Karena itu, wajar jika pelayanan haji dipandang sekadar untuk menunjang kelangsungan ekonomi.
Negara Wajib Memenuhi Kebutuhan
Berbagai persoalan layanan haji saat ini tentu tidak akan terjadi jika Islam diterapkan dalam kehidupan sebagai sebuah sistem. Dalam sistem Islam, ditetapkan bahwa negara adalah ra’in yaitu pelayan rakyat yang akan mengurusi rakyat dengan baik, apalagi terkait pelaksanaan ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima.
Dalam Islam, seorang pemimpin menyadari betul bahwa kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Penghisaban atas kepemimpinannya. Seorang yang diamanahkan tanggung jawab, tidak akan menjadikan amanah itu sebagai lahan bisnis atau mendapatkan profit. Ia akan takut jika ada yang terzalimi karena amanah yang disia-siakan.
Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme birokrasi yang sederhana dan praktis, serta profesional dalam pelayanan haji sehingga memberi kenyamanan beribadah kepada rakyatnya.
Pada zaman Nabi Muhammad saw., tugas pelayanan jamaah haji diemban oleh paman Beliau, Abbas bin Abdul Muthalib ra. Dikisahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Al-‘Abbas bin Abdul Muttalib meminta izin kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam untuk bermalam di Makkah pada hari-hari di Mina karena tugasnya dalam memberi minum (jamaah haji). Beliau pun memberinya izin (HR Bukhari).
Perbuatan paman Rasul ini semata-mata ingin membantu para jamaah haji di Makkah yang ingin mengambil air Zamzam. Sungguh sifat dan akhlak mulia yang ditunjukan oleh paman Nabi demi melayani jemaah haji ini harusnya dimiliki oleh negara saat ini dalam melayani para jamaah haji. Hal ini akan ada hanya ketika Islam diterapkan. Karena para pemimpin pada masa Islam memahami betul tugasnya sebagai pemimpin.
Pemimpin negeri muslim mestinya takut akan doa Rasulullah saw., “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR. Muslim: 1828).
Dalam sistem Islam, sosok pemimpin (khalifah) juga mengayomi rakyatnya, menjamin seluruh kaum muslim bisa berhaji dengan tenang, aman, nyaman, dan tidak terbebani. Khalifah tidak boleh membedakan fasilitas antara muslim satu dengan yang lain. Semua akan diurus sama karena tujuan penyelenggaraan haji bukan keuntungan, tetapi untuk beribadah, menyempurnakan rukun Islam.
Karena itu, penyediaan fasilitas akan sama rata, jamaah tidak perlu membayar lebih mahal hanya demi bisa mendapatkan fasilitas terbaik. Selain itu, khalifah akan mengatur segala hal agar haji dapat terlaksana dengan aman dan nyaman. Misalnya, pengaturan jumlah jamaah sesuai kapasitas Arafah, Mina, maupun Masjidil Haram. Penyediaan fasilitas yang aman, nyaman, dan sesuai kapasitas inilah prinsip mekanisme pelayanan haji dalam daulah Islam.