
Oleh: Dini Azra
Linimasanews.id—Belakangan, masyarakat dihebohkan dengan kemunculan sosok penceramah yang dikenal sebagai Mama Gufron yang tiba-tiba viral dan menjadi kontroversial. Mama Gufron dalam videonya mengaku seorang wali yang telah mengarang 500 kitab berbahasa suryani. Selain itu, dia juga mengaku bisa berkomunikasi dengan bahasa semut, memanggil malaikat hingga membedah langit. Banyak lagi kesesatan yang disampaikannya di berbagai forum, terutama dia mengatakan semua agama sama-sama bisa masuk surga karena masing-masing sudah memiliki kapling sendiri-sendiri.
Aktivis Islam Farid Idris dalam pernyataannya kepada redaksi suaranasional.com (19/6/2024) mengatakan bahwa dia sudah melihat Mama Gufron di Youtube, dan isinya sesat. Menurutnya, ajaran Mama Gufron ini telah meresahkan masyarakat, masyarakat yang pemahaman Islamnya masih lemah bisa terpengaruh ajaran sesat Mama Gufron. Karenanya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus bertindak.
Sementara itu, pengamat politik Muslim Arbi dalam pernyataannya kepada redaksi suaranasional.com (20/6 /2024) mengatakan kemunculan Mama Gufron yang mengajarkan ajaran sesat ini diduga sebagai bagian operasi intelijen hitam untuk mengadu domba sesama umat Islam. Ia bahkan mengatakan keberadaan Mama Gufron ini dijadikan ‘mainan’ pihak intelijen hitam yang tujuannya agar umat Islam tidak fokus mengawasi rezim Jokowi tapi malah disibukkan dengan keberadaan Mama Gufron. Kegaduhan ini sengaja diciptakan oleh karenanya MUI dan kepolisian harus dilibatkan. MUI bisa melakukan investigasi terhadap ajaran Mama Gufron dan dari hasil investigasi tersebut pihak kepolisian bisa menindaklanjuti.
Fakta sebenarnya tentang Mama Gufron sendiri adalah dia seorang pria kelahiran Banten, 25 Desember 1963 dengan nama asli Iyus Sugiman. Sedangkan nama Abuya Gufron Al Bantani As Syafi’i adalah pemberian gurunya setelah ia berhasil menuntaskan amalan dari sang guru. Dia bukanlah sosok baru karena ia telah merintis pesantren yang bernama Ponpes Uniq Nusantara sejak 1999 dan diresmikan pada 17 Agustus 2000. Sampai saat ini, pesantren tersebut sudah memiliki sembilan cabang yang tersebar di Indonesia, diantaranya di daerah Petukangan, Surabaya, Dampit, dan Malang. Keviralannya yang tiba-tiba dan meresahkan memang patut dipertanyakan.
Sebagaimana dikatakan oleh aktivis dan pengamat politik di atas, masyarakat terutama umat Islam pun tengah menantikan tanggapan dan juga tindakan dari MUI, polri dan pemerintah melalui kementerian agama. Namun, hingga hari ini MUI masih belum bersuara, pemerintah pun bergeming tak melakukan apa-apa. Apakah hal seperti ini akan dibiarkan, atas dasar apa?
Kebebasan berpendapat atau kebebasan berkeyakinan seharusnya tidak berlaku bagi orang yang menyelewengkan ajaran agama tertentu. Khususnya dalam ajaran Islam yang memiliki dasar ketauhidan, memiliki sumber hukum yang jelas dan pasti yaitu Alquran, sunnah, ijma’ sahabat dan qiyash. Inilah yang menjadi rujukan bagi umat Islam dalam menghukumi suatu perkara apakah itu haq atau batil, halal atau haram, lurus ataukah menyesatkan.
Dan yang punya kapasitas untuk memberikan fatwa atau melakukan istimbath adalah para ulama yang terpercaya. Seharusnya, MUI segera melakukan investigasi terhadap kasus Mama Gufron ini, apakah ini termasuk penyimpangan atau penistaan agama? Lantas hasilnya diserahkan ke pihak berwajib untuk dilakukan tindakan secara hukum.
Begitu pula dengan pemerintah, tidak boleh mendiamkan saja masalah yang berpotensi membahayakan akidah umat. Apalagi di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemimpin seharusnya tahu betul bahwasanya menjaga akidah itu bukan tugas individu muslim saja. Tetapi termasuk tugas negara dalam membentengi umat dari ajaran-ajaran sesat yang muncul di tengah masyarakat. Negara punya otoritas kekuasaan, hukum dan lembaga keagamaan yang bisa melaksanakan hal tersebut. Jika selama ini toleransi terhadap sesama umat beragama begitu gencar disuarakan, seharusnya pemerintah juga sigap dalam mencegah perpecahan terjadi di dalam tubuh umat Islam.
Bisa jadi, jika Mama Gufron dan pengikutnya terus diberi panggung di negeri ini umat yang terpengaruh dengan ajarannya akan semakin banyak. Sementara, masih banyak pula umat Islam yang sudah paham mana ajaran Islam yang benar. Mereka akan saling berhadapan untuk menyampaikan kebenaran yang diyakini. Di satu sisi ada yang tidak terima gurunya yang dianggap wali dan sakti dipersalahkan. Fi sisi lain, ada umat yang ingin melakukan amar makruf nahi mungkar mengajak saudaranya kembali ke jalan yang benar. Jika negara tidak berperan, maka besar kemungkinan akan terjadi perpecahan. Belum lagi akibat pembiaran ini bisa memunculkan tokoh-tokoh sesat yang lain di kemudian hari.
Namun, apa mau di kata jika pemimpinnya sendiri tidak tahu atau tidak mau tahu urusan umat Islam, selain yang mendatangkan keuntungan seperti haji, zakat, infaq, dan waqaf. Sebab, landasan sistem bernegara yang diterapkan saat ini adalah sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Lurus atau bengkoknya akidah umat bukan urusan penting bagi negara, karena dianggap sebagai ranah privasi. Mungkin nanti jika ada pihak yang melaporkan atas kasus penistaan agama dan sebagian masyarakat sudah heboh melakukan aksi baru akan ditangani.
Apalagi, negara ini menganggap nasionalisme lebih tinggi dari pada agama. Apa pun ajaran yang dibawa oleh kelompok ormas atau tokoh tertentu selama di dalamnya menyebut dan mengagungkan patriotisme, Pancasila dan berikrar NKRI harga mati oleh negara akan diayomi karena memang sejalan dengan kepentingan penguasa. Berbeda dengan umat Islam yang mendakwahkan tauhid dan syariah Islam kaffah, berbagai framing dan tuduhan akan disematkan, dianggap radikal, intoleran, garis keras dan anti kebhinekaan.
Sangat berbeda dengan pemerintahan Islam yang menjadikan akidah sebagai landasan dalam mengatur kehidupan, baik individu, masyarakat hingga bernegara. Pemimpin yang diberikan amanah kepemimpinan tidak hanya menguasai ilmu politik, ekonomi dan kenegaraan saja, melainkan juga orang yang fakih dalam ilmu agama. Sebab, tujuan bernegara adalah untuk mengurusi urusan umat dengan agama. Agama tidak boleh dipisahkan dari kehidupan sama sekali. Sebab agama Islam sudah sempurna untuk dijadikan landasan serta sumber hukum dan peraturan. Masyarakat sudah ditanamkan akidah Islam semenjak kecil, sehingga tidak akan terpengaruh dengan hal-hal dari luar yang menyesatkan.
Selain itu, hukum pidana juga akan diterapkan bagi siapa saja yang menistakan dan menyelewengkan agama Islam. Berbeda halnya dengan warga negara yang beragama selain Islam, mereka tetap dibiarkan dengan keyakinannya masing-masing. Tidak ada yang boleh mengganggu mereka dalam beribadah maupun bermuamalah. Negara juga akan mengurus kehidupan mereka secara adil sebagaimana umat Islam. Hanya dengan penerapan sistem Islam dalam daulah, negara bisa benar-benar menjaga akidah.