
Oleh: Nabila Sinatrya
Linimasanews.id—Kasus pornografi makin menjadi-jadi di tengah gempuran kecanggihan teknologi. Kemudahan akses membuat konten pornografi menjadi tak terbendung, bahkan tercatat cukup tinggi kasusnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto memaparkan, laporan yang dihimpun dari National Centre for Missing Exploited Children menyatakan bahwa konten kasus pornografi ditemukan sebanyak 5.566.015 juta kasus selama 4 tahun ini. Alhasil, Indonesia menduduki peringkat keempat secara internasional dan kedua dalam regional ASEAN. Korbannya pun menyebar, dari disabilitas, anak-anak SD, SMP, dan SMA, bahkan PAUD.
Menyoroti kasus ini, Menko Polhukam membentuk satuan tugas (satgas) yang melibatkan 11 lembaga negara, di antaranya Kemendikbud, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA),Kemenag, Kemensos, Kemenkominfo, Polri, KPAI, Kemenkumham, Kejaksaan, LPSK dan PPATK (sindonews.com, 18/04/2024).
Industri pornografi ini kerap dilabeli sebagai konten dewasa. Tetapi mirisnya, hari ini menjadikan anak sebagai objek visualisasi. Beragam kasus pun terjadi akibat konten haram ini, seperti maraknya pelecehan seksual sampai pemerkosaan, bahkan pada anak yang tak sedikit dilakukan oleh orang-orang terdekat.
Digitalisasi media membuat industri pornografi ini berkembang berkali-kali lipat. Konten berbau seksual dengan tanda 18+ atau 21+ menjadi seolah dibolehkan dengan syarat umur tertentu.
Upaya antisipasi memang sudah berulang kali dilakukan pemerintah. Namun, malah membuat penyebaran konten pornografi ini makin menjadi-jadi. Jika diamati, upaya pencegahan dan penangan tersebut tidak menyentuh akar persoalan, sehingga penyelesaian tidak bisa tuntas.
Sejatinya negeri ini sedang jatuh pada masalah sosial yang begitu kompleks. Masalah besar yang dapat merusak generasi ini adalah hasil dari cara pandang hidup kapitalisme-sekularisme. Yaitu paradigma yang mengagungkan kebebasan. Paradigma agama harus terpisah dari kehidupan membuat kemaksiatan berkembang subur.
Apalagi, orientasi kapitalisme mengacu untung rugi. Ini menjadikan produksi pornografi termasuk shadow economy. Jadi, pasti akan dibiarkan, bahkan dipelihara. Sebagaimana diungkap tribratanews.polri.go.id pada September 2023, salah satu rumah produksi film porno di Jakarta Selatan bisa meraup keuntungan mencapai 500 juta rupiah dalam setahun.
Sistem kapitalisme-sekuler tidak mampu menciptakan lingkungan yang mendukung untuk memberantas kasus pornografi. Ini berbeda dengan cara pandang Islam yang menyandarkan segala sesuatu pada perintah dan larangan Allah Swt.
Dalam Islam pahala dan dosalah yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan. Islam memandang pornografi adalah kemaksiatan. Kemaksiatan adalah kejahatan yang harus dihentikan. Selain itu, pornografi dapat merusak kebersihan dan kesucian akal manusia.
Dalam hal ini peran negara menurut Islam, dimulai dengan langkah preventif atau pencegahan dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Dengan begitu, interaksi antara laki-laki dan perempuan akan terjaga. Negara secara masif memberikan edukasi terkait interaksi bermasyarakat agar tidak melanggar syariat-Nya.
Selain itu, celah pornografi termasuk di sosial media akan ditutup aksesnya oleh negara. Media dilarang memberikan tayangan yang merusak generasi. Tayangan media ada dalam rangka meningkatkan taraf berpikir masyarakat, juga menunjukan haibah (kewibawaan) Khilafah di dunia internasional.
Terkait industri hiburan dan lainnya yang mengarah kepada pornografi, jelas haram dan terlarang dalam Islam. Maka, Islam memiliki mekanisme memberantas kemaksiatan. Islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, sehingga akan mampu memberantas secara tuntas. Begitulah gambaran ketika menjadikan Islam sebagai cara pandang. Jika Islam diterapkan secara sempurna dalam Khilafah, tentu akan bisa membawa rahmat bagi semesta alam.