
Oleh : Elvana Oktavia, S.Pd.
Linimasanews.id—Guru sering dijuluki sebagai “Pahlawan tanpa tanda jasa” karena peran pentingnya dalam mencetak generasi penerus bangsa. Namun, sebutan tersebut terasa ironis jika melihat kondisi nyata yang dialami guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Alih-alih mendapatkan penghargaan layak, banyak dari mereka justru menghadapi masalah serius dalam hal gaji, karir, hingga hak kesejahteraan.
Aspirasi yang disuarakan lewat Ikatan Pendidik Nusantara (IPN) menegaskan betapa guru PPPK masih jauh dari kata sejahtera. Mereka menuntut pemerintah untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan yang layak (liputan6.com, 25/9/2025).
Ketidakadilan yang dikeluhkan, yakni tidak adanya jenjang karir, ketiadaan uang pensiun, serta gaji yang minim, bahkan ada yang hanya menerima Rp18 ribu per jam atau kurang dari Rp1 juta per bulan. Belum lagi regulasi yang rumit, padahal peran guru sangat vital dalam proses pendidikan. Ironisnya, sebagian besar guru PPPK berpendidikan tinggi, banyak yang bergelar S2 bahkan S3. Namun, status mereka tetap dipandang sebelah mata. Tidak sedikit juga yang akhirnya terjerat utang bank maupun pinjaman online untuk bertahan hidup.
Kapitalisme Mengorbankan Pendidik
Dalam sistem kapitalisme, negara sering menggunakan dalih “anggaran terbatas”. Meski dana untuk pendidikan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) terlihat besar, namun realitasnya hanya sedikit yang benar-benar menyentuh kesejahteraan guru secara langsung. Alokasi anggaran lebih banyak terserap oleh belanja birokrasi dan proyek infrastruktur. Sementara guru dibiarkan bergulat dengan gaji yang minim.
Di sisi lain, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seperti minyak, gas, tambang dan hutan. Sayangnya, kekayaan tersebut banyak diprivatisasi oleh swasta dan asing dengan dalih investasi. Negara hanya mendapatkan sebagian kecil dari pajak dan royalti, sementara keuntungan besar dinikmati untuk korporasi.
Prinsip kepemilikan yang bebas dalam kapitalisme ini membuat sumber daya alam dikuasai oleh pihak tertentu, bukan digunakan untuk rakyat. Akibatnya, keuangan negara bergantung pada pajak rakyat dan utang luar negeri. Siklus utang yang menjerat justru menguras APBN, sehingga sektor penting, seperti pendidikan dan kesejahteraan guru PPPK dianggap sebagai “beban anggaran”. Guru juga diperlakukan sekadar tenaga kontrak, bukan pendidik mulia yang membangun masa depan bangsa.
Mekanisme Adil dalam Islam
Pendidikan dalam Islam juga dijamin gratis, merata, dan berkualitas bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi. Islam juga memandang guru sebagai pihak yang harus dimuliakan. Negara Islam memiliki tanggung jawab penuh menyediakan pendidikan berkualitas sekaligus menjamin kesejahteraan tenaga pendidik.
Mekanisme keuangan negara dalam Islam diatur melalui Baitul Maal, dengan tiga sumber utama. Pertama, kepemilikan umum: seperti minyak, gas, tambang, dan hutan, yang hasilnya untuk rakyat. Kedua, kepemilikan negara: seperti jizyah, kharaj, fai’, dan harta milik negara lain. Ketiga, kepemilikan individu: zakat yang disalurkan untuk delapan asnaf, termasuk fakir, miskin, dan sabilillah. Dengan mekanisme ini, pendapatan negara stabil dan tidak bergantung pada pajak maupun utang.
Guru dalam sistem Islam dipandang sebagai pegawai negara dengan peran yang vital, sehingga gajinya diambil dari pos kepemilikan negara. Penentuan gaji tidak didasarkan pada status ASN atau PPPK, tetapi pada kontribusi nyata dalam mencerdaskan umat. Hal ini sebagai bentuk penghargaan atas peran strategis mereka. Guru tidak hanya dihormati secara sosial, tapi juga dijamin kesejahteraannya secara finansial agar bisa fokus dengan tugas mulianya dalam mendidik generasi, tanpa harus memikirkan beban ekonomi.
Karena itu, sudah saatnya kita menyadari, kondisi yang menimpa guru PPPK ialah bukti gagalnya kapitalisme dalam menyejahterakan rakyat. Permasalahan yang terjadi bukan sekadar soal anggaran atau regulasi, melainkan masalah sistemis. Inilah konsekuensi logis dari sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan investasi dan birokrasi ketimbang kesejahteraan pendidik.
Jika ditilik kembali, Islam hadir dengan solusi komprehensif. Yakni, melalui pengelolaan sumber daya alam yang adil dan penerapan sistem Baitul Maal, negara Islam (khilafah) mampu membiayai pendidikan secara penuh, termasuk menggaji guru dengan layak. Guru tidak lagi dipandang sebagai tenaga kontrak, melainkan pilar utama dalam membangun peradaban. Jika mekanisme Islam diterapkan, kesejahteraan guru akan terjamin, pendidikan rakyat akan merata, dan bangsa ini akan melahirkan generasi berilmu yang kuat.