
Oleh: Yulweri Vovi Safitria
Freelance Writer
Linimasanews.id—Unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 terjadi di sejumlah daerah di tanah air. Berawal dari Pati yang menaikkan tarif pajak sebesar 250%, beberapa daerah turut melakukan hal serupa. Naiknya pun tidak tanggung-tanggung. Di Jombang, Jawa Timur, misalnya, tarif PBB-P2 naik sekitar 700% hingga 1.200%. Seolah tidak ingin ambil risiko, pemerintah pusat meminta pemerintah daerah agar membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah juga mengeluarkan surat edaran sebagai buntut dari unjuk rasa menolak kenaikan PBB-P2 di Pati pada 13 Agustus lalu (tempo.co, 20/8/2025).
Pro dan Kontra
Wacana kenaikan tarif PBB-P2 sontak membuat publik gaduh. Bagaimana tidak, kenaikan tarif PBB-P2 dilakukan di tengah ekonomi masyarakat yang kian terpuruk akibat beragam persoalan. Pajak tidak ubahnya seperti mimpi buruk bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
PHK massal, pengangguran, harga-harga kebutuhan yang terus melonjak naik, akses pendidikan dan kesehatan yang sulit, sudah cukup membuat masyarakat lelah. Kini, ditambah pula dengan wacana kenaikan tarif PBB-P2.
Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan ikut angkat suara. Menurutnya, PBB atas rumah tidak layak mengalami kenaikan. Sebab, rumah adalah adalah hak asasi manusia atau hak dasar yang tidak boleh dipajaki.
Dampak Kapitalisme
Jika dicermati lebih jauh, gencarnya pungutan pajak disebabkan oleh aturan yang diterapkan hari ini. Aturan hidup yang bersumber dari sistem kapitalisme menempatkan pajak sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Bahkan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak mencapai Rp2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5 persen dan tetap menjadi tulang punggung utama APBN 2026. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani (metrotvnews.com, 18/08/2025).
Selain pajak, utang juga menjadi andalan dalam pembangunan dan menutupi defisit anggaran, termasuk membayar utang. Tidak ubahnya seperti gali lobang tutup lobang, begitulah skema keuangan sistem yang berasaskan kapitalisme.
Pemerintah beralasan, sumber-sumber pemasukan APBN sangat terbatas, sedangkan pertumbuhan ekonomi harus didorong demi mengejar ketertinggalan. Begitu pula kualitas SDM, harus ditingkatkan melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang cukup besar. Untuk itu, berbagai cara dilakukan guna menutupi defisit anggaran, salah satunya dengan menaikkan tarif pajak.
Berbagai slogan digaungkan agar masyarakat mau membayar pajak. Pernyataan bahwa uang pajak digunakan untuk membangun insfrastuktur dan fasilitas publik menjadi dalih dalam menggenjot penerimaan negara melalui pajak. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya.
Sebagian fasilitas publik rusak dan perbaikannya terkesan lamban. Pembangunan yang tidak merata antara desa dan kota menjadi pemandangan biasa. Bahkan, di beberapa daerah, gedung sekolah yang tidak layak, jembatan rusak, sarana dan prasarana pendidikan yang minim, layanan kesehatan yang sulit dijangkau, dan berbagai fasilitas lain yang tidak memadai masih ditemui.
Lebih mirisnya lagi, wacana kenaikan tarif PBB-P2 ini bersamaan dengan dipertontonkannya gaya hidup mewah para pejabat, korupsi yang terus meningkat, dan berbagai persoalan yang menyayat hati rakyat. Sisi lain yang mengoyak nurani adalah gaji pejabat yang hampir mencapai Rp100 juta per bulan di saat masyarakat bawah banting tulang hanya untuk sekadar menutupi kebutuhan pokok sehari-hari
Sejahtera dengan Islam
Tentu berbeda dengan negara yang menerapkan aturan Islam. Dalam Islam, pajak adalah haram karena telah memakan harta orang lain dengan jalan batil, bahkan hal tersebut suatu kezaliman. Banyak dalil yang menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi para penariknya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud, disahihkan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah)
Sebagai sistem hidup yang sempurna, Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan manusia, termasuk regulasi terkait sumber keuangan negara. Baitulmal sebagai lembaga khusus negara akan mengelola seluruh harta yang diterima dan dialokasikan kepada rakyat yang membutuhkan. Semua itu diatur berdasarkan hukum syarak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah.
Terkait pemasukan negara, Islam menetapkan tiga pos penting. Pertama, kepemilikan individu (sedekah, hibah, zakat). Kedua, kepemilikan umum (pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan). Ketiga, kepemilikan negara (jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur).
Islam juga memiliki aturan belanja yang khas dengan prinsip kemaslahatan dan keadilan. Harta kepemilikan umum, misalnya, digunakan untuk membiayai kesehatan, pendidikan, keamanan, subsidi BBM, listrik, jihad, serta kemaslahatan publik lainnya. Sementara itu, harta kepemilikan negara digunakan untuk gaji pejabat, hakim, dana kedaruratan, sedangkan harta zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf. Semua itu diatur oleh kepala negara atau khalifah yang memiliki wewenang khusus.
Pengaturan yang jelas dan transparan akan meminimalkan terjadinya praktiknya kecurangan ataupun pungutan tidak wajar yang dilakukan oleh pejabat. Syariat Islam akan menjadi benteng bagi individu, masyarakat, penguasa dan para pejabatnya agar selalu berada dalam suasana ketaatan dan hidup dengan tradisi amar makruf nahi mungkar. Hal inilah yang mampu mewujudnya kehidupan yang tenteram dan sejahtera serta negara yang kuat sehingga tidak perlu bergantung pada pajak dan utang.
Khatimah
Penerapan syariat Islam dalam naungan negara merupakan sesuatu yang urgen untuk diperjuangkan. Umat Islam harus mengambil peran ini karena hal tersebut bukan sekadar kewajiban, tetapi sebagai kunci untuk menjaga kemuliaan umat.
Bahkan, Allah Taala menjanjikan kemuliaan itu ketika umat Islam mau mengikuti petunjuk-Nya. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96)