
Oleh: Lia Ummu Thoriq (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Linimasanews.id—Gubernur Banten Andra Soni meminta pejabat hingga kepala desa yang ada di Provinsi Banten tidak melakukan flexing. Menurutnya, flexing harus dihindari agar tidak disangka bergaya hidup mewah dari hasil korupsi. Andra menambahkan, pejabat publik harus bisa menjaga perilaku yang menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat (Kompas.com, 29/09/2025).
Flexing adalah istilah slang yang artinya mengumbar perilaku kemewahan, prestasi, atau pencapaian di media sosial. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pujian, pengakuan, atau membuat orang lain iri dengan pencapaiannya (Halodoc.com).
Flexing menjadi gaya hidup kalangan pejabat saat ini. Hal ini mereka lakukan agar diakui keberadaannya. Selain itu, flexing juga dianggap sebagai pembuktian kesuksesan yang selama ini diraih dengan kerja keras.
Fenomena flexing awalnya hanya tren kalangan selebritas dan influencer di sosial media. Seiring berjalannya waktu, budaya ini menular ke kalangan pejabat negara dan keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN).
Aksi flexing pejabat ini menuai kritik masyarakat karena dianggap tidak sebanding dengan penghasilan resmi mereka. Namun, hal ini masih dilakukan oleh pejabat. Ajang pamer pun membuat rakyat cemburu, dianggap menikmati hidup mewah dengan menggunakan dana negara. Jelas flexing pejabat ini melukai hati rakyat. Pejabat bergelimang harta, kontras dengan kondisi rakyat dengan ekonomi terpuruk.
Apa pun alasannya, flexing seharusnya tidak dilakukan oleh pejabat. Selain itu, flexing juga memberikan dampak negatif, masyarakat jadi ikut bergaya hidup mewah dan serba boleh (permisif). Tak sedikit yang berutang demi gaya hidup. Akhirnya, terjebak dalam kubangan pinjaman on line (pinjol). Hal ini bak lingkaran setan yang tidak ada akhir. Flexing dan pinjol, keduanya harus kita hindari karena tidak membawa kebaikan, justru membawa kepada jurang kesengsaraan.
Budaya flexing didukung oleh sosial media yang terbuka luas tanpa batas dan aturan. Media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia modern saat ini. Dalam platform ini, seseorang dapat dengan bebas dan sengaja posting berbagai aspek kehidupan, mulai urusan pribadi, pekerjaan, keluarga, bahkan barang-barang bermerek (branded). Ini jelas tidak menebarkan kebaikan, sebaliknya memberikan contoh buruk. Media menyiarkan info yang sifatnya hiburan, unfaedah dan tidak mendidik.
Flexing adalah buah dari cara pandang hidup yang mendewakan materi. Flexing tumbuh subur dalam sistem sekuler kapitalisme yang menjadikan materi tolok ukur kebahagiaan dan keberhasilan. Kapitalisme melahirkan nilai-nilai dalam kehidupan yang akan dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan. Nilai-nilai tersebut antara lain, matrealisme, hedonisme, dan individulisme. Nilai-nilai inilah yang menjadi tolok ukur tidak hanya di masyarakat, namun juga para pejabat. Akibatnya, banyak pejabat yang tidak ragu memamerkan hartanya di publik.
Sikap pamer semacam ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme sekuler yang hanya mengukur martabat seseorang dari jumlah hartanya. Dalam kapitalisme, makin tinggi status ekonomi, makin tinggi pula derajat kemuliaannya. Padahal, hal semacam ini hanya akan membuat manusia berlomba mengejar materi dan jabatan, kadang tanpa memperhatikan halal-haram.
Jelas flexing yang dilakukan oleh pejabat ini membuat rakyat pusing. Rakyat pusing mencari sesuap nasi, pejabat sibuk flexing harta demi eksistensi diri. Karenanya, butuh solusi pasti agar budaya flexing segera terkikis. Solusi ini mustahil terealisasi dalam sistem kapitalisme-sekuler yang mendewakan materi.
Sistem Islam Mengikis Budaya Flexing
Sistem Islam mampu menjawab permasalahan flexing karena Islam memiliki aturan yang sempurna dan paripurna. Kesempurnaan Islam bisa dilihat dari aturannya. Aturan Islam mencakup tiga hal, mengatur menusia dengan Allah (ibadah), mengatur manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, makanan dan pakaian) dan mengatur manusia dengan manusia (muamalah dan uqubat).
Flexing ini terkait dengan hukum yang mengatur manusia dengan manusia. Flexing atau pamer jelas dilarang dalam Islam. Perbuatan memamerkan ibadah disebut riya’, sedangkan memamerkan harta (flexing) dapat dikatakan sombong. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang melarang manusia untuk memamerkan harta dan bersikap sombong. Tindakan tersebut adalah perilaku tercela, dan pelakunya tidak disukai Allah Swt.
Allah berfirman dalam surah Lukman ayat 18 yang berbunyi, “Janganlah engkau memalingkan wajahmu dari manusia dengan sikap sombong, dan janganlah berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan sangat membanggakan diri.”
Rasulullah saw. juga mengingatkan tentang larangan berbuat sombong ketika menggunakan pakaian yang mewah, indah, dan mahal. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Nabi saw. bersabda, “Seseorang yang memiliki kesombongan sekecil biji sawi di dalam hatinya tidak akan masuk surga. Ada yang bertanya, ‘Bagaimana dengan seseorang yang suka memakai pakaian dan alas kaki yang indah?’ Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Namun, kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain’.”
Penerapan Islam secara kafah (sempurna) akan membentuk pejabat yang berkepribadian Islam dan akan tercapai keberkahan serta rahmat bagi semesta alam. Islam tidak memberi panggung bagi pejabat flexing. Ada mekanisme persanksian bagi pejabat yang kedapatan flexing atau media sosial. Penerapan sistem ekonomi Islam juga memastikan tercapainya kesejahteraan rakyat dan pejabat hidup sederhana. Demikianlah cara Islam mengikikis budaya flexing di kalangan pejabat.