
Oleh: Sriyama
Linimasanews.id—Resmi sudah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden kedelapan dan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-14 di Gedung Nusantara, kompleks parlemen (MPR/DPR/DPD RI), Senayan, Jakarta. Presiden terpilih diharap membawa angin segar akan perubahan serta membawa visi yang lebih baik. Pergantian pemimpin dianggap sebagian orang ada harapan baru ke arah yang lebih baik.
Anggapan ini dianggap wajar karena mereka hanya melihat bahwa keberhasilan ada di tangan individu pemimpin. Bangsa ini seyogianya tidak melupakan sejarah. Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, sudah banyak pemimpin dari berbagai latar belakang berbeda, mulai dari seorang politikus, militer, ilmuwan, wanita hingga seorang yang pribadinya diklaim dekat dengan wong cilik.
Namun, pemimpin berganti, tetapi tetap saja rakyat berada dalam cengkeraman penjajahan ekonomi oleh para kapital. Contohnya, pajak makin tinggi, biaya pendidikan dan biaya rumah sakit makin melangit, pekerjaan makin sulit dicari dan PHK merajalela di mana-mana, politik dinasti makin menjamur, politik balas budi menjadi hal yang lumrah, rakyat hidup dalam pusaran kemiskinan sistemis. Ditambah lagi, terjadi kerusakan tatanan sosial. Kenakalan remaja yang di luar nalar. Ini membuktikan sekelumit eksistensi penjajahan ekonomi juga sosial budaya.
Rakyat harus sadar bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak terletak pada individu saja, melainkan sistem yang diterapkan. Sistem kepemimpinan yang diterapkan hari ini adalah sistem politik demokrasi kapitalisme. Sistem ini adalah sistem cacat sejak dari lahir, rusak dan merusak. Sebab, sistem ini bukan berasal dari Allah Swt.
Sistem demokrasi ini berasal dari Yunani. Sistem ini menjadikan kedaulatan hukum di tangan manusia, sehingga manusia berhak membuat hukum untuk mengatur kehidupannya sendiri. Sistem ini kemudian diambil oleh ideologi kapitalisme sebagai sistem politiknya sebab ideologi kapitalisme membutuhkan sistem politik yang bisa menjamin penjajahan ekonomi oleh para pemilik modal besar melalui undang-undang.
Oleh karena itu, tak heran, meski rakyat menolak RUU Ciptaker, tetap saja disahkan. Tak hanya itu, rakyat kembali menelan pil pahit dengan munculnya RUU Pilkada. Regulasi ini hanyalah sebagian kecil untuk memuluskan penjajahan para kapital.
Selama sistem kapitalisme masih eksis diterapkan sebagai sistem kepemimpinan, maka rakyat tetap hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Inilah dampak penerapan sistem demokrasi yang cacat dan batil sejak lahir ini.
Kebaikan hanya akan terwujud dalam naungan sistem yang shahih, yakni sistem Islam, sistem yang datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui, yakni Allah Swt.. Islam telah mengatur kepemimpinan agar mendatangkan keberkahan di dunia maupun di akhirat. Islam memiliki kualifikasi pribadi seorang pemimpin yang layak. Dalam Islam, dijelaskan ada tujuh syarat in’iqad pengangkatan seorang pemimpin. Yaitu muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka atau bukan budak, adil/bukan orang fasik/bukan ahli maksiat, dan mampu atau punya kapasitas untuk memimpin.
Selain itu, tugas utama pemimpin dalam Islam adalah menerapkan syariat Islam secara kafah, bukan hukum atau sistem buatan manusia. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Nizham al-Hukmi fil al-Islam, hlm 49, “Khalifah atau kepala negara adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariat.”
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah Swt., “Dan hendaknya kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al-Maidah: 49).
Demikian pula dalam surat an-Nisa 45 Allah Swt. berfirman, “Demi Tuhanmu mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau Muhammad sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, mereka menerima putusan tersebut dengan sepenuhnya.” (TQS.An-Nisa:45).
Kewajiban ini dipertegas dengan adanya teguran dari Allah Swt., dengan menyebut mereka yang tidak menerapkan hukum-hukumnya sebagai orang fasik, zalim, bahkan bisa kafir (QS: Al- Maidah: 44,45 dan 47).
Selain itu, Islam menetapkan keberadaan pemimpin sebagai ra’in atau pengurus urusan umat dan junnah atau sebagai pelindung bagi rakyatnya. Hal ini dapat dipahami dari hadis yang menjelaskan tentang kepemimpinan. Dalam kepemimpinan inilah harapan kehidupan yang lebih baik dan keberkahan akan terwujud. Karena, baik kriteria pemimpin maupun sistem yang digunakan berasal dari Allah swt. Sistem Islam ini dalam bahasa fikih disebut sistem khilafah.